Pada
tahun 2020 mendatang diperkirakan kebutuhan energi akan bertambah sekitar 40
persen dari kebutuhan saat ini. Teknologi termoelektrik merupakan sumber
alternatif utama dalam menjawab kebutuhan energi tersebut. Di samping relatif
lebih ramah lingkungan, teknologi ini sangat efisien, tahan lama, dan juga
mampu menghasilkan energi dalam skala besar maupun kecil. Teknologi
termoelektrik bekerja dengan mengonversi energi panas menjadi listrik secara
langsung (generator termoelektrik), atau sebaliknya, dari listrik menghasilkan
dingin (pendingin termoelektrik). Untuk menghasilkan listrik, material
termoelektrik cukup diletakkan sedemikian rupa dalam rangkaian yang
menghubungkan sumber panas dan dingin. Dari rangkaian itu akan dihasilkan
sejumlah listrik sesuai dengan jenis bahan yang dipakai.
Kerja
pendingin termoelektrik pun tidak jauh berbeda. Jika material termoelektrik
dialiri listrik, panas yang ada di sekitarnya akan terserap. Dengan demikian,
untuk mendinginkan udara, tidak diperlukan kompresor pendingin seperti halnya
di mesin-mesin pendingin konvensional. Voyager I dan II adalah contoh pesawat
ruang angkasa yang memanfaatkan teknologi termoelektrik. Voyager yang
diterbangkan NASA tahun 1977 ini dirancang khusus untuk terbang menjauhi Tata
Surya sehingga solar cell tidak dapat dipergunakan.
Dalam
menempuh perjalanan yang tak terbatas itu diperlukan pula energi yang besar dan
stabil untuk mengirimkan data ke Bumi. Untuk itulah Voyager menggunakan
teknologi termoelektrik dengan plutonium-238 sebagai sumber panasnya
(Radioisotop Thermoelectric Generators-RTGs). Sistem ini mampu membangkitkan
listrik sebesar 400 W, serta secara kontinu dan tanpa perawatan apa pun,
Voyager tetap dapat mengirimkan data walau sudah terbang selama 30 tahun.
Keberhasilan ini memberikan peluang yang luas dalam aplikasi lainnya. Salah
satunya adalah yang dikerjakan Nissan, dengan memanfaatkan panas dari mesin
mobil.
Seperti
kita ketahui, dari 100 persen bahan bakar yang dipakai, hanya sekitar 30 persen
yang dipergunakan untuk menggerakkan mobil. Sebagian besar energi terbuang
dalam bentuk panas di radiator dan gas buangan. Di antara kedua panas tersebut,
gas buangan memiliki perbedaan panas lebih tinggi, yakni sekitar 300-700
derajat Celsius sehingga lebih baik untuk dikonversikan menjadi energi
penggerak mobil. Dengan memanfaatkan gas buangan ini, mobil-mobil produksi
Nissan mampu menghemat bahan bakar sebesar 10 persen.
Contoh menarik lainnya adalah yang
dilakukan oleh Seiko Co Ltd. Seiko memasarkan jam termoelektrik sejak tahun
1998 dengan nama Seiko Thermic.
Jam
tangan ini memanfaatkan perbedaan suhu tubuh dan suhu sekitarnya. Bahan yang
digunakan, bismut-tellurium, mampu menghasilkan listrik sebesar 0,2 mV/ oC.
Jika 1.000 buah material tersebut dipasang seri, tentu akan menghasilkan
tegangan listrik 0,2 V dalam setiap perbedaan 1 oC. Untuk itu, Seiko membuat
unit pembangkit listrik, terdiri atas 10 buah modul termoelektrik yang
masing-masing berisi 100 kawat mikro. Dari setiap unit inilah dihasilkan energi
listrik sebesar 0,15 V untuk mengisi baterai litium pada jam tersebut.
Aplikasi
dalam pendingin termoelektrik lebih luas lagi. Pendingin wine di hotel Jepang
sudah banyak yang mempergunakan teknologi ini. Pendingin termoelektrik dapat
diletakkan dengan leluasa di bawah tempat tidur karena tidak menimbulkan suara
dan getaran. Mitsubishi saat ini juga sudah memproduksi kulkas termoelektrik
yang mampu menghemat energi 20 persen dibandingkan dengan kulkas biasa. Dalam
dunia komputer, termoelektrik dipergunakan untuk mendinginkan CPU komputer.
Toshiba
mengembangkan sebuah alat yang dapat mendinginkan sumber panas itu sendiri.
panas yang dihasilkan dari sumber panas dalam komputer digunakan untuk
membangkitkan listrik, kemudian listrik itu dipergunakan untuk memutar kipas
yang diarahkan ke sumber panas. Perangkat ini mampu menurunkan panas sekitar 32
oC. Jika alat ini ditambahkan dengan alat pengontrol, tentu bisa dikontrol pula
suhu yang ingin dicapai oleh sumber panas tersebut, tanpa menggunakan energi
dari luar, baik untuk pendinginnya ataupun untuk penghasil listriknya.
Fenomena
termoelektrik pertama kali ditemukan tahun 1821 oleh ilmuwan Jerman, Thomas
Johann Seebeck. Ia menghubungkan tembaga dan besi dalam sebuah rangkaian. Di
antara kedua logam tersebut lalu diletakkan jarum kompas. Ketika sisi logam
tersebut dipanaskan, jarum kompas ternyata bergerak. Belakangan diketahui, hal
ini terjadi karena aliran listrik yang terjadi pada logam menimbulkan medan magnet. Medan magnet inilah yang
menggerakkan jarum kompas. Fenomena tersebut kemudian dikenal dengan efek
Seebeck.
Penemuan
Seebeck ini memberikan inspirasi pada Jean Charles Peltier untuk melihat
kebalikan dari fenomena tersebut. Dia mengalirkan listrik pada dua buah logam
yang direkatkan dalam sebuah rangkaian. Ketika arus listrik dialirkan, terjadi
penyerapan panas pada sambungan kedua logam tersebut dan pelepasan panas pada
sambungan yang lainnya. Pelepasan dan penyerapan panas ini saling berbalik
begitu arah arus dibalik. Penemuan yang terjadi pada tahun 1934 ini kemudian
dikenal dengan efek Peltier. Efek Seebeck dan Peltier inilah yang kemudian
menjadi dasar pengembangan teknologi termoelektrik.
Setelah
itu, perkembangan termoelektrik tidak diketahui dengan jelas sampai kemudian
dilanjutkan oleh WW Coblenz pada tahun 1913 yang menggunakan tembaga dan
constantan (campuran nikel dan tembaga). Dengan efisiensi konversi sebesar
0,008 persen, sistem yang dibuatnya itu berhasil membangkitkan listrik sebesar
0,6 mW.
AF
Ioffe melanjutkan lagi dengan bahan-bahan semikonduktor dari golongan II-V,
IV-VI, V-VI yang saat itu mulai berkembang. Hasilnya cukup mengejutkan, di mana
efisiensinya meningkat menjadi 4 persen. Ioffe melakukan satu lompatan besar di
mana ia berhasil menyempurnakan teori yang berhubungan dengan material
termoelektrik. Teori itu dibukukan tahun 1956 yang kemudian menjadi rujukan
para peneliti hingga saat ini.
Penelitian
termoelektrik muncul kembali tahun 1990-an setelah sempat menghilang hampir lima dasawarsa karena
efisiensi konversi yang tidak bertambah. Setidaknya ada tiga alasan yang
mendukung kemunculan tersebut.
Pertama,
ada harapan besar ditemukannya material termoelektrik dengan efisiensi yang
tinggi, yaitu sejak ditemukannya material superkonduktor High-Tc pada awal
tahun 1986 dari bahan yang selama ini tidak diduga (ceramic material). Kedua,
sejak awal 1980-an, teknologi material berkembang pesat dengan kemampuan menyusun
material tersebut dalam level nano. Teknologi analisis dengan XPS, UPS, STM
juga memudahkan analisis struktur material. Ketiga, pada awal tahun 1990,
tuntutan dunia tentang teknologi yang ramah lingkungan sangat besar. Ini
memberikan imbas kepada teknologi termoelektrik sebagai sumber energi
alternatif.
Banyak
aplikasi lain penggunaan energi termoelektrik yang sedang dikembangkan saat
ini, seperti pemanfaatan perbedaan panas di dasar laut dan darat, atau
pemanfaatan panas bumi. Kesulitan terbesar dalam pengembangan energi ini adalah
mencari material termoelektrik yang memiliki efisiensi konversi energi yang
tinggi. Parameter material termoelektrik dilihat dari besar figure of merit
suatu material. Idealnya, material termoelektrik memiliki konduktivitas listrik
tinggi dan konduktivitas panas yang rendah. Namun kenyataannya sangat sulit
mendapatkan material seperti ini, karena umumnya jika konduktivitas listrik
suatu material tinggi, konduktivitas panasnya pun akan tinggi.
Material yang banyak digunakan saat ini adalah Bi 2 Te 3, PbTe, dan
SiGe. Saat ini Bi2 Te3 memiliki figure of merit tertinggi. Namun, karena
terurai dan teroksidasi pada suhu di atas 500 oC, pemakaiannya masih terbatas.
Rendahnya figure of merit ini menyebabkan rendahnya efisiensi konversi yang
dihasilkan, di mana saat ini efisiensinya masih berkisar di bawah 10 persen.
Nilai ini masih berkurang sampai 5 persen setelah menjadi sebuah sistem
pembangkit listrik. Masih cukup jauh terus berkembang, apalagi setelah Yamaha
Co Ltd berhasil menaikkan figure of merit sebesar 40 persen dari yang ada
selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar