Jumat, 20 Desember 2013

Kecakapan Hidup


KONSEP PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP
(Life Skill Education)

Upaya peningkatan mutu pendidikan dengan memberi bekal sangat diperlukan, utuk menghadapi jenjang pendidikan selanjutnya dan dunia kerja, maka pendidikan perlu dikembalikan kepada prinsip dasarnya, yaitu upaya untuk memanusiakan manusia (humanisasi); mengembangkan potensi dasar peserta didik agar berani dan mau menghadapi problema yang dihadapi tanpa rasa tertekan; serta mau, mampu dan senang meningkatkan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi, sehingga terdorong untuk memelihara diri sendiri maupun hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat dan lingkungannya. Pendidikan yang dengan sengaja direncanakan untuk membekali peserta didik dengan kecakapan hidup dan kehidupan (life skill) yang secara integratif memadukan potensi generik dan spesifik guna memecahkan dan mengatasi problema kehidupan.

I. Latar Belakang
Studi Blazely dkk. (1997) melaporkan bahwa pembelajaran di sekolah cenderung sangat teoretik dan tidak terkait dengan lingkungan di mana anak berada. Akibatnya peserta didik tidak mampu menerapkan apa yang dipelajari di sekolah guna memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi dalam kehidupan keseharian.
Dari komparasi internasional, mutu pendidikan di Indonesia juga kurang menggembirakan. Human Development Index (HDI) Indonesia menduduki peringkat 102 dari 106 negara yang disurvai dan satu peringkat di bawah Vietnam. Survai the Political Economic Risk Consultation (PERC) melaporkan Indonesia berada di peringkat ke 12 dari 12 negara yang disurvai, juga satu peringkat di bawah Vietnam. Hasil studi the Third International Mathematics and Science Study-Repeat (TIMSS-R 1999) melaporkan bahwa siswa SLTP Indonesia menempati peringkat 32 untuk IPA dan 34 untuk Matematika dari 38 negara yang distudi di Asia, Australia dan Afrika.
Hasil penilaian terhadap HDI maupun hasil survai TIMSS-R 1999 dan PECR dengan 17 indikatornya serta fenomena yang ditemukan di tanah air menjadi pelajaran (Lesson learned) yang sangat berharga, yaitu bahwa upaya peningkatan mutu pendidikan yang selama ini dilakukan belum mampu memecahkan masalah dasar pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah mendasar, konsisten dan sistematik. Di samping itu perlu kesadaran bersama bahwa: (1) peningkatan mutu pendidikan merupakan komitmen untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia, baik secara pribadi maupun sebagai modal dasar pembangunan bangsa, dan (2) pemerataan daya tampung pendidikan harus disertai pemerataan mutu pendidikan, sehingga mampu menjangkau seluruh masyarakat.
Pengalaman Hidup
Marilah kita ingat-ingat teman kita yang dianggap sukses menjalani kehidupan dan kemudian cermati kemampuan apa yang mereka miliki sehingga sukses, atau setidaknya dapat bertahan hidup dalam situasi yang serba berubah. Umumnya kita akan menjawab, mereka tersebut sukses karena memiliki banyak kiat sehingga mampu mengatasi masalah yang dihadapi, pandai melihat dan memanfaatkan peluang, serta pandai bergaul dan bermasyarakat. Mari kita simak bersama beberapa kisah sukses.
Alkisah, sekelompok anak usia 7-10 tahun di daerah pedalaman sedang asyik bercengkrama di atas sebuah perahu di sebuah danau. Tiba-tiba dayungnya patah. Setelah berpikir dan mengamati sekitarnya, salah seorang di antaranya berenang ke pinggir, memotong pelepah enau dan hanya dalam beberapa menit mampu meng-hasilkan sebuah dayung darurat.
Kisah Lain, baru-baru ini ada sekelompok anak muda yang mampu memanfaatkan sampah yang selalu menjadi masalah di lingkungannya menjadi pupuk kompos dan bahan batako. Mereka mampu meyakinkan masyarakat untuk memisahkan sampah yang kering dan basah, sebelum dibuang ke tempat sampah menjadi kompos sedangkan sampah kering sebagian dijual sebagai bahan daur ulang, sedangkan lainnya dijadikan bahan batako.
Pernahkah Anda menonton film Home Alone? Film Komedi anak-anak itu bercerita tentang Kevin, seorang anak 'nakal' yang tertinggal di rumah, saat keluarganya berlibur. Ketika berada dirumah seorang diri dan diincar oleh kawanan perampok, Kevin berhasil mengelabuhi kawanan perampok tersebut dengan memanfaatkan video film koboi, cat, tali dan sebagainya.
Dengan merenungkan dan belajar dari pengalaman hidup masing-masing, kita akan menyadari bahwa dalam kehidupan setiap orang selalu menghadapi masalah yang harus dipecahkan secara kreatif.
Dalam kehidupan keseharian, manusia akan selalu dihadapkan pada problem hidup yang harus dipecahkan dengan menggunakan berbagai serana dan situasi yang dapat dimanfaatkan. Kemampuan seperti itulah yang merupakan salah satu inti kecakapan hidup (Life skill). Artinya kecakapan yang selalu diperlukan oleh seseorang di manapun ia berada, baik bekerja atau tidak bekerja dan apapun profesinya.

Tantangan Masa Depan
Sementara mutu pendidikan di Indonesia belum menggembirakan, tantangan di masa depan sangat berat. Di dalam negeri krisis ekonomi menyebabkan angka pengangguran terus meningkat, konon telah mencapai 40 juta. Mengingat krisis ekonomi tersebut tampaknya belum segera pulih maka angka pengangguran juga belum segera dapat turun, sehingga pendidikan perlu berperan aktif membantu mengatasi pengangguran tersebut.
Dari dalam bidang pendidikan sendiri, diketahui terdapat 88,4% lulusan SLTA tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, dan 34,4% lulusan SLTP yang tidak melanjutkan ke SLTA. Mereka perlu mendapat perhatian agar tidak menambah jumlah angka pengangguran yang sudah sedemikian besar. Hal ini berarti bahwa perlu dipikirkan bagaimana pendidikan dapat berperan mengubah beban manusia menjadi manusia produktif, bekal apa yang perlu diberikan kepada peserta didik agar segera memasuki dunia kerja, sehingga setidaknya mampu menghidupi dirinya, syukur jika dapat turut menghidupi keluarga.
Fenomena lain ynag perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh adalah keterasingan lulusan sekolah dari lingkungannya. Seperti telah disinggung sebelumnya, banyak lulusan SLTP dan SLTA yang justru menjadi sumber masalah di lingkungannya. Mereka menganggur tetapi merasa malu membantu orangtua mereka sebagai petani atau pedagang di pasar. Akhirnya mereka justru sering menjadi sumber masalah di lingkungannya.
Secara internasional tahun 2003 AFTA ( Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area) akan dimulai, yang berarti sejak saat itu persaingan tenaga kerja akan menjadi terbuka. Konskwensinya tenaga kerja kita harus mampu bersaing secara terbuka dengan tenaga kerja asing dari berbagai negara. Jika tidak, maka Indonesia akan dibanjiri oleh tenaga kerja asing dari negeri jiran, seperti Philipina, Banglades, India, dan sebagainya. Pada hal selama ini tenaga kerja Indonesia seringkali belum mampu bersaing sengan tenaga kerja asing. Sekali lagi bidang pendidikan perlu secara aktif berperan mempersiapkan calon tenaga kerja agar mampu bersaing dengan rekan mereka dari negara lain.

II. Rumusan Masalah dan Penanggulangannya
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia kini menghadapi masalah yang serius, yaitu:
1. Cukup banyak lulusan SLTP dan SLTA yang tidak melanjutkan ke pendidikan lebih tinggi yang jika tidak segera bekerja akan menambah jumlah pengangguran.
2. Banyak lulusan SLTP dan SLTA yang tidak mampu menerapkan pengetahuan dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga seolah mereka terasing di lingkungannya sendiri dan sering menjadi sumber keributan
3. Dengan berlakunya AFTA pada tahun 2003 tenaga kerja asing akan segera masuk ke Indonesia, jika tidak siap kita akan menjadi pecundang di negara sendiri.
Bertolak dari masalah tersebut, kiranya perlu dilakukan konsolidasi, agar pendidikan dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup (life skill), yaitu keberanian dan kemauan menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya. Pendidikan, yang dapat mensinergikan berbagai mata pelajaran/mata diklat/mata kuliah menjadi kecakapan hidup (life skill), yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya. Dengan bekal kecakapan hidup tersebut diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan sekolah.
Untuk dapat mewujudkannya, perlu diterapkan prinsip pendidikan berbasis luas (broad based education) yang tidak hanya berorientasi pada bidang akademik semata atau vokasional semata, tetapi juga memberikan bekal learning how to learn sekaligus learning to unlearn, tidak hanya belajar teori, tetapi juga mempraktekkannya untuk memecahkan problema kehidupan sehari-hari
III. Tujuan dan Manfaat
Secara umun Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) bertujuan mengembalikan pendidikan pada fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi peserta didik untuk menghadapi peranannya di masa datang. Secara khusus PKH (life skill) bertujuan untuk:
1. mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi;
2. memabaerikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas (broad based education), dan
3. mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sekolah, dengan memberikan peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (school-based management).
Sedangkan secara umum manfaat Pendidikan Kecakapan Hidup (life skill) bagi peserta didik adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan problema hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga masyarakat dan warga negara. Jika hal itu berhasil, maka faktor ketergantungan (dependency factor) akibat banyaknya pengangguran dapat diturunkan, yang berarti produktivitas nasional akan meningkat.
Semantara itu bagi kalangan pendidikan maupun masyarakat luas dapat memahami konsep kecakapan hidup dan menerapkannya sesuai prinsip pendidikan berbasis luas (broad based education). Sebagai suatu konsep, pendidikan kecakapan hidup tentu terbuka dan memang akan terus berkembang, namun dengan adanya penjelasan ini, paling tidak semua pihak terkait dapat menyamakan persepsi tentang apa itu kecakapan hidup (life skill), pendidikan kecakapan hidup serta pendidikan berbasis luas (broad based education) dan pendidikan berbasis masyarakat (community-based education).
IV. KONSEP DASAR
A. Apa yang dimaksud Kecakapan Hidup (Life Skill)
Kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani meghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya. Kecakapan hidup (life skill) lebih luas dari keterampilan untuk bekerja, apalagi sekedar keterampilan manual. Orang yang tidak bekerja, misalnya ibu rumah tangga atau orang yang sudah pensiun pun tetap memerlukan kecakapan hidup karena akan tetap menghadapi berbagai masalah yang harus dipecahkan. Orang yang sedang menempuh pendidikan juga memerlukan kecakapan hidup, karena mereka tentu juga memiliki permasalahan yang harus dipecahkan. Bukankah dalam hidup, dimanapun dan kapanpun orang selalu menemui masalah yang harus dipecahkan?

Kecakapan hidup dapat dipilah menjadi lima, yaitu:
a. kecakapan mengenal diri (self awarness), yang juga sering disebut kemampuan personal (personal skill);
b. kecakapan berpikir rasional (thinking skill);
c. kecakapan sosial (social skill)
d. kecakapan akademik (academic skill), dan
e. kecakapan vokasional (vocational skill)
Gambar 1
Skema Terinci Kecakapan Hidup (life skill)

Kecakapan mengenal diri (self awarness) mencakup;
1. penghayatan diri sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, anggota masyarakat dan warga negara;
2. menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi sendiri dan lingkungannya.
Kecakapan berpikir rasional (thinking skill) mencakup;
1. kecakapan menggali dan menemukan informasi (information searching),
2. kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan (information processing and decision making skill),
3. kecakapan memecahkan masalah secara kreatif (creative problem solving skill)
Kecakapan sosial (social skill)
1. kecakapan komunikasi dengan empati (communication skill)
2. kecakapan bekerjasama (collaboration skill),
Berempati, sikap penuh pengertian dan seni komunikasi dua arah, perlu ditekankan karena yang dimaksud berkomunikasi bukan sekedar menyampaikan pesan, tetapi isi dan sampainya pesan disertai dengan kesan baik akan menumbuhkan hubungan yang harmonis.

Bagi bangasa Indonesia yang bersifat religius, kecakapan hidup (life skill) di atas masih harus ditambah sebagai panduan, yaitu akhlaq. Artinya kesadaran diri, berpikir rasional, hubungan interpersonal, kecakapan akademik serta kecakapan vokasional harus dijiwai oleh akhlaq mulia. Akhlaq harus menjadi kendali setiap tindakan seseorang. Karena itu kesadaran diri sebagai mahluk Tuhan harus mampu mengembangkan akhlaq mulia tersebut Di sinilah pentinggnya pembentukan jati diri dan kepribadian (character building) guna menumbuh-kembangkan penghayatan nilai-nilai etika-sosio-religiud merupakan bagian integral dari pendidikan di semua jenis dan jenjang.

Kecakapan hidup yang bersifat spesifik (specifis life skill) atau SLS diperlukan seseorang untuk menghadapi problema bidang khusus tertentu. Untuk mengatasi problema mobil yang mogok tentu diperlukan kecakapan khusu tentang mesin mobil. Untuk memecahkan masalah dagang yang tidak laku, tentu diperlukan keterampilan marketing. Untuk mampu melakukan pengembangan biologi molekuler tentunya diperlukan keahlian khusus tertentu.
SLS biasanya disebut juga sebagai keterampilan teknis (technical competencies) yang berkaitan dengan metoda dan isi mata pelajaran atau mata diktat tertentu, yang mencakup kecakapan vokasional dan kecakapan akademik.

Kecakapan akademik (academic skill) (AS), atau kemampuan berpikir ilmiah (scientific method) mencakup;
1. identifikasi variabel
2. merumuskan hipotesis
3. melaksanakan penelitian
Kecakapan vokasional (vocational skill) (VS), sering disebut keterampilan kejuruan, artinya keterampilan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat.

Perlu disadari bahwa di alam kehidupan nyata, antara general life skill (GLS) dan (specifis life skill) atau SLS, antara kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir rasional, kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional tidak berfungsi secara terpisah-pisah, atau tidak terpisah secara eksklusif. Hal yang terjadi sebuah tindakan individu yang melibatkan aspek fisik, mental, emosional dan itelektual. Derajat kualitas tindakan individu dalam banyak hal dipengaruhi oleh kualitas kematangan berbagai aspek pendukung tersebut diatas.
Dalam mengahadapi kehidupan di masyarakat juga akan selalu diperlukan GLS dan SLS yang sesuai dengan masalah. Untuk mengatasi masalah mobil mogok diperlukan VS (bagian dari SLS), khususnya tentang mesin mobil dan GLS, khususnya berfikir rasional, mengatasi dan memecahkan masalah secara kreatif. Dengan kata lain, walaupun antara kecakapan-kecakapan hidup tersebut dapat dipilah, tetapi dalam penggunaannya akan selalu bersama-sama dan saling menunjang.

B. Landasan Filosofi, Historis dan Yuridis.
Mungkin akan muncul pertanyaan, apa sebenarnya manfaat pendidikan, khususnya jika dikaitkan dengan kecakapan hidup (life skill). Pendidikan sebagai suatu sistem, pada dasarnya merupakan sistimatisasi dari proses perolehan pengalaman. Oleh karena itu secara filosofis pendidikan diartikan sebagai proses perolehan pengalaman belajar yang berguna bagi peserta didik. Pengalaman belajar diharapkan mampu mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik, sihingga siap digunakan untuk memecahkana problema kehidupan yang dihadapinya. Pengalaman belajar yang diperoleh peserta didik diharapakan juga mengilhami mereka ketika menghadapi problema dalam kehidupan sesungguhnya.
Secara Historis pendidkan sudah ada sejak manusia ada di muka bumi, yaitu ketika pendidikan yang dimulai didalam keluarga untuk lebih dewasa di lingkungannya dengan menghadapi tugas-tugas kehidupan, mencari solusi untuk memecahkan dan mengatasi problema yang dihadapi sehari-hari.
Ketika kehidupan menjadi maju dan kompleks, masalah kehidupan dan fenomena alam kemudian diupayakan dapat dijelaskan secara keilmiahan. Pendidikan juga mulai bermetamorfosa menjadi formal dan bidang keilmuan diterjemahkan menjadi mata pelajaran/mata kuliah/mata diktat di sekolah, yang akan menjelaskan fenomena kehidupan sehingga lebih mudah difahami dan lebih mudah dipecahkan problemanya.
Landasan Yuridis pendidikan kecakapan hidup (life skill) dapat dirunut dari UU no 2. Tahun 1989. Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajar dan/atau pelatih bagi peranan-nya di masa yang akan datang.
Dimana mata pelajaran adalah alat untuk mrngembangkan potensi peserta didik, aga pada saatnya dapat digunakan untuk bekal hidup dan kehidupan, bekerja untuk mencari nafkah dan bermasyarakat. Bukankah bekal itu identik dengan kecakapan hidup (life skill)

C. Hubungan Mata Pelajaran, Kecakapan Hidup dan Kehidupan Nyata

Gambar 2. Hubungan antara Mata Pelajaran, life skill dan Kehidupan Nyata di Masyarakat
(Anak panah denga garis putus-putus menunjuka alur rekayasa kurikulum)

Pertama, dilakukan identifikasi kecakapan hidup yang diperlukan untuk menghadapi kehidupan nyata di Masyarakat. Selanjutnya diidentifikasi pokok bahasan/topik keilmuan yang diperlukan yang selanjutnya dikemas dalam bentuk mata pelajaran/mata diktat.
Dari sisi pemberian bekal bagi peserta didik ditujukan dengan anak panah bergaris tegas, yaitu apa yang dipelajari pada setiap mata pelajaran diharapakan dapat membenatuk kecakapan hidup yang nantinya diperlukan pada saat yang bersangkutan memasuki kehidupan nyata di masyarakat.
Kompetensi yang dicapai pada mata pelajaran hanyalah kompetensi antara mewujudkan memapuan nyata yang diinginkan yaitu kecakapan hidup (life skill atau life competency).
Model pembelajaran terpadu (integrated learning) dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) atau CTL merupakan model pembelajaran yang mengarah pada pembentukan kecakapan hidup.
Model pendidikan realistik (realistic education) yang kini sedang berkembang, juga merupakan upaya mengatur antara pendidikan sesuai kebutuhan nyata perserta didik, agar hasilnya dapat diterapkan guna memecahkan dan mengatasi peroblema hidup yang akan dihadapi.
Untuk mencapai kecakapan hidup memerlukan model evaluasi otentik (authentic evaluation), yaitu evaluasi dalam bentuk perilaku peserta didik dalam menerapkan apa yang dipelajari dalam kehidupan nyata. Paling tidak dalam bentuk shadow authentic, yaitu bentuk tugas proyek/kegiatan untuk memecahkan masalah yang memang terjadi di masyarakat.
V. POLA PELAKSANAAN PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP
A. Pendidikan Berbasis Luas (broad based education)
Karena kemajuan iptek yang pesat, bebarapa ahli menyatakan manusia tidak akam mampu mempelajari seluruh pengetahuan walaupun itu dilakukan sepanjang hidupnya. Hal ini membawa konsekwensi dalam bidang pendidikan. Pendidikan tidak lagi dapat mengharapkan peserta didik untuk mempelajari seluruh pengetahuan. Karena itu harus dipilih bagian-bagian esensial dan menjadi fondasinya dan peserta didik harus memapelajari pengetahuan yang baru sesuai dengan perkembangannya
Disamping general life skill, kiranya perlu dikembangkan pula kemampuan learning how to learn, dengan harapan dapat digunakan untuk belajar sendiri, jika seseorang ingin mengembangkan diri dikemudian hari. Demikian juga learning how to unlearn, yaitu kemampuan melepaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan buruk yang secara tak sadar dipelajarinya. Konsep pendidikan inilah yang menjadi titik tolak pendidikan berbasis luas (broad based education).

B. Broad Based Education sebagai Wahana Pendidikan Kecakapan Hidup (life Skill)
Bagaimana penerepan broad based education (BBE) sebagai upaya penumbuhan life skill dalam jenjang dan jenis pendidikan tentunya disesuaikan dengan tujuan pendidikan pada sekolah yang bersangkutan.
Pada jenjang pendidikan dasar (TK/RA, SD/MI dan SLTP/MTs) akan lebih ditekankan bagi pengembangan GLS, di samping (a) upaya mengakrabkan peserta didik dengan peri kehidupan nyata di lingkungannya, (b) menumbuhkan kesadaran tentang makna/nilai perbuatan seseorang terhadap pemenuhan kebutuhan hidupnya, (c) memberikan sentuhan awal terhadap pengembangan keterampilan psikomotorik, dan (d) memberikan opsi-opsi tindakan yang dapat memacu kreativitas.
Untuk jalur pendidikan yang bersifat akademik, yaitu SMU/MA dan perguruan tinggi, di samping GLS ditekankan pula academic skill (AC), sedangkan pada pendidikan jalur kejuruan/profesional, yitu SMK, politeknik dan juga kursus-kursus keterampilan, di samping GLS ditekankan pada vocational skill (VS).

Gambar3.
Penerapan BBE sebagai Wahana life Skill di SD/MI, SLTP/MTs, SMU/MA, SMK, Univ dan Poltek (secara ideal)

Gambar diatas menunjukan bahwa pada pendidikan dasar (SD/MI, SLTP/MTs) ditekankan pada pengembangan GLS. Pengembangan SLS, baik yang bersifat AS maupun VS sebaiknya pada tahapan pengenalan dan diberikan sesuai dengan perkembangan fisik maupun psikologis siswa. Pengembangan GLS dimaksudkan sebagai bekal dasar untuk melanjutkan maupun terjun bekerja dan bermasyarakat. Sedangkan pre-AC maupun pre-VS dimaksudkan sebagai pemandu bakat dan minat siswa.
Pada SMU/MA yang mempersiapkan siswanya masuk ke pendidikan lebih tinggi seharusnya ditekankan pada penumbuhan AS, sedangkan pada SMK dan kursus keterampilan yang menyiapkan siswanya memasuki lapangan kerja ditekankan pada VS.
Walaupun demikian, baik pada SMU/MA maupun pada SMK dan kursus keterampilan, bekal GLS tetap harus dikembangkan. Bagi siswa SMU/MA, bekal GLS akan sangat diperlukan untuk hidup bermasyarakat ataupun ketika ternyata tidak dapat melanjutkan ke perguruan tinggi, karena berbagai sebab. Bagi siswa SMK dan pendidikan profesional, bekal GLS sangat penting untuk belajar atau beradaptasi ketika ternyata terjadi perubhan teknologi terhadap bidang pekerjaan yang dipelajari atau ditekuninya.

C. Pola Pendidikan Kecakapan Hidup untuk Mengatasi Potensi Pengangguran.
Pada saat ini fakta menunjukkan bahwa cukup banyak lulusan SLTP/MTs yang tidak melanjutkan ke SLTA dan lulusan SMU/MA yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, diperlukan strategi khusus utnuk membekali mereka yang akan memasuki lapangan kerja. Artinya konsep pada gambar 3 perlu dilakukan modifikasi.
Mengingat cukup banyak lulusan SLTP dan SMU yang ternyata tidak melanjutkan dan memasuki lapangan kerja, maka diperlukan tambahan vocational skill (VS) bagi mereka, sesuai dengan tingkat umurnya.
Gambar 4
Community College berbasis Community Based Education sebagai Layanan Pelaksanaan VS di sekolah.

Paket program VS-A adalah program vokasional untuk lulusan SMU yang tidak melanjutkan dan akan memasuki lapangan kerja. Program VS-B untuk lulusan SLTP yang tidak melanjutkan ke SLTA dan akan memasuki lapangan kerja. Program tersebut diatas sebaiknya berupa modular-modular yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja (marketable skill), sehingga lulusannya dapat langsung menerapkan di lapangan kerja, baik sebagai karyawan maupun usaha mandiri.
Program VS-C adalah untuk siswa yang masih/sedang belajar di SMU/MA, tetapi secara potensial tidak akan melanjutkan studi, sehingga sejak di sekolah sudah mendapat paket program vokasional. Program VS-D berupa pre-vokasional bagi siswa SLTP/MTs yang potensial tidak akan melanjutkan ke SLTA dan memasuki lapangan kerja. Program-program ini idealnya dapat diatur sebagai bentuk mata pelajaran/mata diktat pilihan, sehingga tidak harus menambah beban jam pada kurikulum.
Paket-paket program vokasional tersebut diatas, baik VS-A,VS-B,VS-C dan VS-D, harus dikembangkan melalui suatu need assesment secara cermat, sesuai dengan potensi daerah dan pengembangannya. Harus dihindari program yang sekedar melatih keterampilan, tetapi tidak terdapat lapangan kerjanya atau tidak dapat diterapkan sebagai bentuk usaha mandiri.
Model yang ditunjukkan pada Gambar 4 adalah salah satu alternatif. Artinya model tersebut untuk disesuaikan dengan kondisi daerah dan bahkan sangat mungkin dikembangkan model lain yang diyakini cocok dengan situasi daerah tertentu.
Sesuai dengan UU No 22/1999 dan PP no.25/2000, sebaiknya kabupaten/kota yang secara operasional menangani pendidikan dasar dan menengah secara operasional. Oleh karena itu program-program tersebut seyogianya ditangani oleh kabupaten/kota, sementara peran pemerintah pusat lebih banyak sebagai inisiator dan pendamping atau maksimal sebagai triger.
Di setiap kabupaten/kota pada umumnya telah ada SMK dan BPKB/SKB di bawah Dinas Pendidikan dan BLK/KLK di bawah Dinas Tenaga Kerja. Juga terdapat SLTP/MTs dan SMU/MA yang memiliki sarana labolatorium cukup memadai. Disamping itu mungkin terdapat pusat diklat, kursus keterampilan atau bahkan industri yang memiliki sarana cukup baik. Karena itu demi efisiensi dan sekaligus bersinergi, sebaiknya berbagai fasilitas tersebut berhimpun membentuk community college yang berfungsi sebagai init layanan pendidikan keterampilan vokasional (VS) untuk VS-A,VS-B,VS-C dan VS-D.
Pola tersebut diatas sekaligus dimaksudkan untuk merintis model community-based education (CBE), yaitu pendidikan yang berbasis kepada kebutuhan masyarakat dan memanfaatkan sumberdaya yang ada di masyarakat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar