Jumat, 20 Desember 2013

Tujuan Hidup Manusia

SEMUA MANUSIA HARUS BERORIENTASI PADA TUJUAN HIDUP MANUSIA

Bismillahirrahmanirahim !Assalamu’alaikum Wr, WbSungguh bahwa Allah SWT menempatkan Manusia keseluruhan sebagai Bani Adam dalam kedudukan yang mulia, "Walaqad karramna Bani Adam." (Q/17:70). Manusia diciptakan Allah SWT dengan identitas yang berbeda-beda agar mereka saling mengenal dan saling memberi manfaat yang satu dengan yang lainnya (Q/49:13). Tiap-tiap umat diberi aturan dan jalan (yang berbeda), padahal seandainya Tuhan mau, seluruh manusia bisa disatukan dalam kesatuan umat. Allah SWT menciptakan perbedaan itu untuk memberikan peluang berkompetisi secara sehat dalam menggapai kebajikan, "fastabiqul khairat."(Q/5:48). Oleh karena itu sebagaimana dikatakan oleh rasul SAW, agar seluruh manusia itu menjadi saudara antara satu dengan yang lainnya, "Wakunu 'ibadallahi ikhwana."(Hadist Bukhari).1.Apakah manusia memang memiliki kemampuan bernalar ?•Oleh sebab itu Allah SWT selalu menyatakan bahwa : “Manusia (anak-cucuAdam AS ) diciptakan dalam kesempurnaan-nya” . Dalam Injil dikatakan bahwa “Man was created upon the image of God).. Serta banyak kalimat pada Taurat (Perjanjian Lama) yang membedakan antara “anak manusia” dan “anak Allah” , “adanya manusia-manusia yang besar pada saat itu” , bagaimana takutnya anak-anak Adam yang keluar dari surga dengan adanya ancaman / gangguan diluarFondasi dalam Etika IslamDalam Al-Qur'an dijelaskan bahwa tujuan para Rasul Allah ialah mewujudkan masyarakat ber-Ketuhanan (rabbaniyun--Q. 3:79), yaitu masyarakat yang para anggotanya dijiwai oleh semangat mencapai rida Allah, melalui perbuatan baik bagi sesamanya dan kepada seluruh makhluk. Inilah dasar pandangan etis keagamaan. Dan seluruh pemikiran bidang-bidang etika (sosial, politik, antaragama, lingkungan, biomedis, bisnis, dan seterusnya) --dari sudut pandang keagamaan-- haruslah dibangun dari dasar ini. Makna rabbaniyah itu adalah sama dengan ''berkeimanan'' dan ''berketakwaan'' atau lebih sederhananya, ''beriman'' dan ''bertakwa'' --atau ''imtak'' akronim yang sekarang populer. Dari sudut pandang sistem paham keagamaan, iman dan takwa adalah fondasi (Arab: asas) yang benar bagi semua segi kehidupan manusia. ''Manakah yang terbaik? Mereka yang mendirikan bangunannya atas dasar takwa dan keridaan Allah, ataukah yang mendirikan bangunannya di atas tanah pasir di tepi jurang lalu runtuh bersamanya ke dalam api neraka?'' (Q. 9:109). Implikasi dan ramifikasi Ketuhanan Yang Maha Esa ini, jika kita mencoba mengidentifikasinya, kurang lebih akan mengahasilkan nilai-nilai berikut, yang bolehlah kita sebut fondasi untuk etika Islam--yang harus menjadi dasar normatif dari apapun yang akan kita bangun atas nama Islam, yaitu bahwa manusia tidak dibenarkan memutlakkan sesuatu apa pun selain Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai yang mutlak berarti menyadari bahwa Tuhan tidak dapat dijangkau oleh akal manusia. Maka Tuhan tidak dapat diketahui, tetapi dapat diinsyafi sedalam-dalamnya keberadaannya. Dialah asal dan tujuan hidup manusia, dengan konsekuensinya bahwa manusia harus membaktikan seluruh hidupnya demi memperoleh perkenan atau rida-Nya.Di sini, tidak memutlakkan sesuatu apa pun selain Tuhan Yang Maha Esa berarti tidak menjadikan sesuatu selain dari Dia sebagai tujuan hidup. Dalam wujudnya yang minimal, contoh menjadikan sesuatu selain Tuhan sebagai tujuan hidup adalah sikap pamrih, tidak ikhlas.Pandangan hidup yang berorientasi ketuhanan ini terkait erat dengan pandangan bahwa manusia adalah puncak ciptaan Tuhan, yang diciptakan-Nya dalam sebaik-baik kejadian. Manusia berkedudukan lebih tinggi daripada ciptaan Tuhan manapun di seluruh alam, malah lebih tinggi daripada alam itu sendiri. Tuhan telah memuliakan manusia. Oleh karena itu, manusia harus menjaga harkat dan martabatnya itu, dengan tidak bersikap menempatkan alam atau gejala alam lebih tinggi daripada dirinya sendiri (lewat mitologi alam atau gejalanya), atau menempatkan seseorang, atau diri sendiri, lebih tinggi daripada orang lain (lewat tirani atau mitologi terhadap sesama manusia). Mengenai manusia: Pada hakikatnya, manusia diciptakan sebagai makhluk kebaikan (fithrah), oleh karena itu masing-masing pribadi manusia harus berpandangan baik kepada sesamanya dan berbuat baik untuk sesamanya. Sebaliknya, sebagai ciptaan yang lebih rendah daripada manusia, alam ini disediakan oleh Tuhan bagi kepentingan manusia untuk kesejahteraan hidupnya, baik yang bersifat spiritual maupun yang bersifat material. Alam diciptakan Tuhan sebagai wujud yang baik dan nyata (tidak semu), dan dengan hukum-hukumnya yang tetap, baik yang berlaku dalam kesejahteraannya yang utuh maupun yang berlaku dalam bagiannya secara spesifik. Oleh karena itu, manusia harus mengamati alam raya ini dengan penuh apresiasi, baik dalam kaitannya dengan keseluruhannya yang utuh maupun dalam kaitannya dengan bagiannya yang tertentu, semuanya sebagai ''manifestasi'' Tuhan (perkataan Arab ''`alam'' memang bermakna asal ''manifestasi''), guna menghayati keagungan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai dasar kesejahteraan spiritual.Dengan memperhatikan alam itu, terutama gejala spesifiknya, manusia dapat menemukan patokan dalam usaha memanfaatkannya (sebagai dasar kesejahteraan material, melalui ilmu pengetahuan dan teknologi). Dengan prinsip ini, manusia dapat mengemban tugas membangun dunia ini dan memeliharanya sesuai dengan hukum-hukumnya yang berlaku dalam keseluruhannya secara utuh (tidak hanya dalam bagiannya secara parsial semata), demi usaha mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi. Di sinilah letak relevansi keimanan untuk wawasan lingkungan, atau environmentalism.Di atas segala-galanya, manusia juga harus senantiasa berusaha menjaga konsistensi dan keutuhan orientasi hidupnya yang luhur (menuju perkenan Tuhan Yang Maha Esa), dengan senantiasa memelihara hubungan dengan Tuhan, dan dengan perbuatan baik kepada sesama manusia. Perbuatan baik kepada sesama manusia yang dilakukan dengan konsisten, tujuan luhurnya adalah menuju rida-Nya, bukan semata-semata dengan mengikuti dan menjalankan segi-segi formal lahiriah ajaran agama, seperti ritus keagamaan. Simbolisme tanpa substansi adalah muspra, jika bukan kesesatan itu sendiri.Oleh karena itu, manusia harus bekerja sebaik-baiknya, sesuai bidang masing- masing, menggunakan setiap waktu lowong secara produktif dan senantiasa berusaha menanamkam kesadaran Ketuhanan dalam dirinya. Manusia dalam pandangan Tuhan tidak memperoleh apa-apa kecuali yang ia usahakan sendiri, tanpa menanggung kesalahan orang lain. Ini berarti manusia harus manyadari bahwa semua perbuatannya, baik dan buruk, besar dan kecil, akan dipertanggungjawabkan dalam Pengadilan Ilahi di Hari Kemudian, dan manusia akan menghadapi Hakim Maha Agung, mutlak sebagai pribadi-pribadi, sebagaimana ia juga adalah seorang pribadi ketika Tuhan menciptakannya pertama kali. Karena iman, manusia menjadi bebas dan memiliki dirinya sendiri secara utuh (tidak mengalami fragmentasi), sebab ia tidak tunduk kepada apapun selain kepada Sang Kebenaran (al-Haqq, yaitu Allah, Tuhan Yang Maha Esa). Ini dinyatakan dalam kegiatan ibadah yang hanya ditujukan kepada Tuhan semata, tidak sedikitpun kepada yang lain, karena sadar akan Ke-Maha-Agung-an Tuhan. Namun, dengan iman ini manusia juga hidup penuh tanggung jawab, karena sadar akan adanya Pengadilan Ilahi itu kelak. Ini secara amaliah dinyatakan dalam sikap memelihara hubungan yang sebaik-baiknya dengan sesama manusia berwujud persaudaraan, saling menghargai, tenggang-menenggang dan saling membantu, karena sadar akan makna penting usaha menyebarkan perdamaian (salam) antara sesamanya.Perbedaan antara sesama manusia harus didasari sebagai ketentuan Tuhan, karena Dia tidak menghendaki terjadinya susunan masyarakat yang monolitik. Pluralitas yang sehat justru diperlukan sebagai kerangka adanya kompetisi ke arah berbagai kebaikan, sehingga perbedaan yang sehat merupakan rahmat bagi manusia.Dan melandasi semua itu ialah keyakinan dan kesadaran bahwa Tuhan adalah Maha Hadir, menyertai dan bersama setiap individu di manapun ia berada, dan Maha Tahu akan segala perbuatan individu itu, serta tidak akan lengah sedikitpun untuk memperhitungkan amal-perbuatannya, biar sekecil apapun. Akhirnya, memang selalu ada kesenjangan antara yang normatif dan historis dalam sejarah perwujudan nilai-nilai Islam seperti di atas. Tetapi, inilah kurang lebih identifikasi sendi-sendi pokok pandangan hidup berdasarkan iman itu. Kesemua nilai tersebut berdasarkan Kitab Suci dan Sunnah Nabi, dan harus menjadi bagian dari sumber etis seorang Muslim dalam semua kegiatan. Yang normatif melandasi yang historis, yang historis akan memperlihatkan apakah yang normatif itu telah berjalan dalam masyarakat.Begitulah kenyataan ummat ini; mungkin banyak orang saleh diantara mereka, tapi semuanya seperti daun-daun yang berhamburan, tidak terhimpun dalam sebuah wadah yang bernama jama'ah. Mungkin banyak orang hebat diantara mereka, tapi kehebatan mereka hilang diterpa angin zaman. Mungkin banyak potensi yang tersimpan pada individu- individu diantara mereka, tapi semuanya berserakan di sana sini, tak terhimpun. Maka jama'ah adalah alat yang diberikan Islam bagi umatnya untuk menghimpun daun-daun yang berhamburan itu; supaya kekuatan setiap satu orang saleh, atau orang hebat, atau satu potensi, bertemu padu dengan kekuatan saudaranya yang lain, yang sama salehnya, yang sama hebatnya, yang sama potensialnya. Jama'ah juga merupakan cara yang paling tepat untuk menyederhanakan perbedaan-perbedaan pada individu. Di dalam satu jama'ah, individu- individu yang memiliki kemiripan disatukan dalam sebuah simpul. Maka meskipun ada banyak jama'ah, itu tetap jauh lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Sebab jauh lebih mudah memetakan orang banyak melalui pengelompokan atau simpul-simpulnya, ketimbang harus memetakan mereka sebagai individu. Jalan panjang menuju kebangkitan kembali ummat ini, harus dimulai dari menghimpun daun-daun yang berhamburan itu, merajut kembali jalinan cinta diantara mereka, menyatukan potensi dan kekuatan mereka, kemudian `meledakkannya' pada momentum sejarahnya, menjadi pohon peradaban yang teduh, yang menaungi kemanusiaan. Tapi itulah masalahnya. Ternyata itu bukan pekerjaan yang mudah. Ternyata cinta tidak mudah ditumbuhkan diantara mereka. Ternyata orang saleh tidak mudah disatukan. Ternyata orang hebat tidak selalu bersedia menyatu dengan orang hebat yang lain. Mungkin itu sebabnya, ada ungkapan di kalangan gangster mafia; seorang prajurit yang bodoh, kadang-kadang lebih berguna dari pada dua orang jenderal yang hebat. Tapi tidak ada jalan lain; nabi umat ini tidak akan pernah memaafkan setiap orang diantara kita untuk meninggalkan jama'ah semata-mata karena ia tidak menemukan kecocokan bersama orang lain dalam jama'ahnya. Sebab, kekeruhan jama'ah, kata Imam Ali Bin Abi Thalib Ra, jauh lebih baik daripada kejernihan individu. Dari Individu ke Jama'ah Orang-orang saleh diantara kita harus menyadari, bahwa tidak banyak yang dapat ia berikan atau sumbangkan untuk Islam kecuali kalau ia bekerja di dalam dan melalui jama'ah. Mereka tidak dapat menolak fakta bahwa tidak ada orang yang dapat mempertahankan hidupnya tanpa bantuan orang lain, bahwa tidak pernah ada orang yang dapat melakukan segalanya atau menjadi segalanya, bahwa kecerdasan individual tidak pernah dapat mengalahkan kecerdasan kolektif. Bekerja di dalam dan melalui jama'ah tidak hanya terkait dengan fitrah sosial kita, tapi terutama terkait dengan kebutuhan kita untuk menjadi lebih efisien, efektif dan produktif. Ada juga alasan lain. Kita hidup dalam sebuah zaman yang oleh ahli- ahlinya dicirikan sebagai masyarakat jaringan, masyarakat organisasi. Semua aktivitas manusia dilakukan di dalam dan melalui organisasi; pemerintahan, politik, militer, bisnis, kegiatan sosial kemanusiaan, rumah tangga, hiburan dan lainnya. Itu merupakan kata kunci yang menjelaskan, mengapa masyarakat moderen menjadi sangat efektif dan efisien serta produktif. Masyarakat modern bekerja dengan kesadaran bahwa keterbatasan- keterbatasan yang ada pada setiap individu sesungguhnya dapat dihilangkan dengan mengisi keterbatasan mereka itu dengan kekuatan- kekuatan yang ada pada individu-individu yang lain. Jadi kebutuhan setiap individu Muslim untuk bekerja, atau beramal Islami di dalam dan melalui jama'ah, bukan saja lahir dari kebutuhan untuk meningkatkan efektivitas, efesiensi dan produktivitasnya, tapi juga lahir dari kebutuhan untuk bekerja dan beramal Islami pada level yang setara dengan tantangan zaman kita. Musuh-musuh kita mengelola dan mengorganisasi pekerjaan-pekerjaan mereka dengan rapi, sementara kita bekerja sendiri-sendiri, tanpa organisasi, dan kalau ada, biasanya tanpa manajemen. Pilihan untuk bekerja dan beramal Islami di dalam dan melalui jama'ah hanya lahir dari kesadaran mendalam seperti ini. Tapi kesadaran ini saja tidak cukup. Ada persyaratan psikologis lain yang harus kita miliki untuk dapat bekerja lebih efektif, efisien dan produktif dalam kehidupan berjama'ah. Pertama, kesadaran bahwa kita hanyalah bagian dari fungsi pencapaian tujuan. Jama'ah didirikan untuk mencapai tujuan-tujuan besar. Untuk jama'ah bekerja dengan sebuah perencanaan dan strategi yang komprehensif dan integral. Di dalam strategi besar itu, individu harus ditempatkan sebagai bagian dari keseluruhan elemen yang diperlukan untuk mencapainya. Jadi sehebat apa pun seorang individu, bahkan sebesar apa pun kontribusinya, dia tidak boleh merasa lebih besar daripada strategi dimana ia merupakan salah satu bagiannya. Begitu ada individu yang merasa lebih besar dari strategi jama'ah, maka strategi itu akan berantakan. Untuk itu setiap indvidu harus memiliki kerendahan hati yang tulus. Kedua, semangat memberi yang mengalahkan semangat menerima. Dalam kehidupan berjama'ah terjadi proses memberi dan menerima. Tapi jika pada sebagian besar proses kita selalu berada pada posisi menerima, maka secara perlahan kita `mengkonsumsi' kebaikan-kebaikan orang lain hingga habis. Itu tidak akan pernah mampu melanggengkan hubungan individu dalam sebuah jama'ah. Betapa bijak nasihat KH Ahmad Dahlan kepada warga Muhammadiyah; "Hidup-hidupkanlah Muhammadiyah, dan jangan mencari hidup dalam Muhammadiyah". Ketiga, kesiapan untuk menjadi tentara yang kreatif. Pusat stabilitas dalam jama'ah adalah kepemimpinan yang kuat. Tapi seorang pemimpin hanya akan menjadi efektif apabila ia memiliki prajurit-prajurit yang taat dan setia. Ketaatan dan kesetiaan adalah inti keprajuritan. Begitu kita bergabung dalam sebuah jama'ah, kita harus bersiap untuk menjadi taat dan setia. Tapi ruang lingkup amal Islami yang sangat luas membutuhkan manusia-manusia kreatif. Dan kreativitas tidak bertentangan dengan ketaatan dan kesetiaan. Jadi kita harus menggabungkan antara ketaatan dan kreativitas; ketaatan lahir dari kedisiplinan dan komitmen, sementara kreativitas lahir dari kecerdasan dan kelincahan. Dan itu merupakan perpaduan yang indah. Keempat, berorientasi pada karya, bukan pada posisi. Jebakan terbesar yang dapat menjerumuskan kita dalam kehidupan berjama'ah adalah posisi struktural. Jama'ah hanyalah wadah bagi kita untuk beramal. Maka kita harus selalu berorientasi pada amal dan karya yang menjadi tujuan utama kita berjama'ah, dan memandang posisi structural sebagai perkara sampingan saja. Dengan begitu kita akan selalu bekerja dan berkarya ada atau tanpa posisi struktural. Kelima, bekerjasama walaupun berbeda. Perbedaan adalah tabiat kehidupan yang tidak dapat dimatikan oleh jama'ah. Maka adalah salah jika berharap untuk hidup dalam sebuah jama'ah yang bebas dari perbedaan. Yang harus kita tumbuhkan adalah kemampuan jiwa dan kelapangan dada untuk tetap bekerjasama di tengah berbagai perbedaan. Perbedaan tidaklah sama dengan perpecahan, dan karena itu kita tetap dapat bersatu walaupun kita berbeda. Jama'ah yang Efektif Mungkin jauh lebih realistis untuk mencari jama'ah yang efektif ketimbang mencari jama'ah yang ideal. Kita adalah ummat yang sakit. Setiap kita mewarisi kadar tertentu dari penyakit tersebut. Jika orang-orang sakit itu saling bertemu dalam sebuah jama'ah, pada dasarnya jama'ah itu juga merupakan jama'ah yang sakit. Itulah faktanya. Tapi tugas kita menyalakan lilin, bukan mencela kegelapan. Jama'ah yang efektif adalah jama'ah yang dapat mengeksekusi atau merealisasikan rencana-rencananya. Kemampuan eksekusi itu lahir dari integrasi antara berbagai elemen; ada sasaran dan target yang jelas, strategi yang tepat, sarana pendukung yang memadai, pelaku yang bekerja dengan penuh semangat, lingkungan strategi yang kondusif. Jama'ah yang didirikan untuk kepentingan menegakkan syariat Allah Swt di muka bumi, akan menjadi efektif apabila ia memiliki syarat-syarat berikut ini; Pertama, ikatannya aqidah, bukan kepentingan. Orang-orang yang bergabung dalam jama'ah itu disatukan oleh ikatan aqidah, dipersaudarakan oleh iman, dan bekerja untuk kepentingan Islam. Mereka tidak disatukan oleh kepentingan duniawi yang biasanya lahir dari dua kekuatan syahwat; keserakahan (hubbud dunya) dan ketakutan (karahiatul maut). Kedua, jama'ah itu sarana, bukan tujuan. Jama'ah itu tetap diposisikan sebagai sarana, bukan tujuan. Sehingga tidak ada alasan untuk memupuk dan memelihara fanatisme sekadar untuk menunjukkan kesetiaan pada grup. Hilangnya fanatisme juga memungkinkan jama'ah- jama'ah itu saling bekerja sama diantara mereka, membangun jaringan yang kuat, dan tidak terjebak dalam pertarungan yang saling mematikan. Ketiga, sistem, bukan tokoh. Jama'ah itu akan menjadi efektif jika orang-orang yang ada di dalamnya bekerja dengan sebuah sistem yang jelas, bukan bekerja dengan seseorang yang berfungsi sebagai sistem. Pemimpin dan prajurit hanyalah bagian dari strategi, sistem adalah sesuatu yang terpisah. Dengan cara ini kita mencegah munculnya diktatorisme dimana selera sang Pemimpin menjelma menjadi sistem. Keempat, penumbuhan, bukan pemanfaatan. Sebuah jama'ah akan menjadi efektif jika ia memandang dan menempatkan orang-orang yang bergabung ke dalamnya sebagai pelaku-pelaku, yang karenanya perlu ditumbuh- kembangkan secara terus menerus, untuk fungsi pencapaian tujuan jama'ah itu. Jama'ah itu akan menempatkan dirinya sebagai fasilitator bagi perkembangan kreativitas individunya, dan tidak memandang mereka sebagai pembantu-pembantu yang harus dipaksa bekerja keras, atau sapi- sapi yang dungu yang harus diperah setiap saat. Kelima, mengelola perbedaan, bukan mematikannya. Jama'ah yang efektif selalu mampu mengubah keragaman menjadi sumber kreativitas kolektifnya. Dan itu dilakukan melalui mekanisme syuro yang dapat memfasilitasi setiap perbedaan untuk diubah menjadi konsensusK02 PEP Ang XI( dikutip dari berbabagai Sumber yang relevan )UKUWAH yang Islamiah dan AMANAHDalam bahasa arab, ada kalimat "ukhuwah."(Persaudaraan), ada alimat "ikhwah"(saudara seketurunan) dan "ikhwan" (saudara bukan seketurunan). Dalam Al- quran kata "akhu"(saudara) digunakan untuk menyebut saudara kandung atau seketurunan(Q/4:23), saudara sebangsa (Q/7:65) saudara semasyarakat walau berselisih faham(Q/38:23) dan saudara seiman(Q49:10). Quran bukan hanya menyebut persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniyyah) tetapi bahkan menyebut binatang dan burung sebagai umat seperti manusia (Q/6:38). sebagai saudara semakhluk (ukhuwah makhluqiyah) Istilah "ukhuwah islamiyah." bukan bermakna persaudaraan antara orang-orang Islam, tetapi persaudaraan yang didasarkan pada ajaran Islam atau persaudaraan yang bersifat islami. Oleh karena itu cakupannya "ukhuwah Islamiyyah"bukan hanya menyangkut sesama orang Islam namun juga menyangkut dengan non Muslim bahkan makhluk yang lainnya. Misalnya, seorang pemiliki kuda, tidak boleh membebani kudanya dengan beban yang melampaui batas kewajaran. Ajaran ini termasuk ajaran ukhuwwah Islamiyyah. bagaimana seorang muslim bergaul dengan kuda miliknya. Dari ayat-ayat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Quran dan Hadist sekurang-kurangnya memperkenalkan empat macam ukhuwah yaitu: 1.Khuwah'ubudiyyah:Persaudaraan karena sesama makhluk yang tunduk kepada Allah SWT. 2.Ukhuwah Insaniyyah atau basyariyyah: Persaudaraan karena sama-sama manusia secara keseluruhan. 3.Ukhuwah wathaniyyah wa an nasab: Persaudaraan karena keterikatan keturuanan dan kebangsaan. 4.Ukhuwah diniyyah, persaudaraan karena seagama. Bagaimana ukhuwah berlangsaung, tak lepas dari faktor penunjang. Faktor penunjang signifikan membentuk persaudaraan adalah persamaan. Semakin banyak persamaan, baik persamaan rasa maupun persamaan cita-cita maka semakin kokoh ukhuwahnya. Ukhuwa biasanya melahirkan aksi solidaritas. Contohnya diantara kelompok masyarakat yang sedang berselisih, segera terjalin persaudaraan ketika semuanya menjadi korban banjir, karena banjir menyatukan perasaan, yakni sama- sama merasa menderita. Kesamaan perasaan itu kemudian memunculkan kesadaran untuk saling membantu. Petunjuk Al-Quran Tentang Ukhuwah : 1. Tetaplah berkompetisi secara sehat dalam melakukan kebajikan, meski merekaberbeda agama, ideologi, status: "fastaqul khairat."(Q/5:48). Jangan berfikirmenjadi manusia dalam kesaragaman, memaksa orang lain untuk berpendirian sepertikita. Misalnya, Allah SWT menciptakan kita perbedaan sebagai rahmat, untuk menguji mereka siapa diantara mereka yang memberikan kontribusi terbesar dalam kebajikan 2. Memelihara amanah (tanggung jawab)sebagai khalifah Allah dimuka bumi, dimana manusia dibebani keharusan menegakkan kebenaran dan keadilan (Q/38:26). Sertamemelihara keseimbangan lingkungan alam (Q/112:4). 3. Kuat pendirian tetapi menghargai pendirian orang lain "lakum dinukum wliyadin." (Q/112:4). Tidak perlu bertengkar dengan asumsi bahwa kebenaran akan terbuka nanti dihadapan Allah SWT(Q/42:15). 4. Meski berbeda ideologi dan pandangan tetapi harus berusaha mencari titik temu, "kalimatin sawa" tidak bermusuhan seraya mengakui eksistensi masing-masingQ/3:64). 5. Tidak mengapa bekerjasama dengan pihak yang berbeda pendirian dalam halkemaslahatan umum, atas dasar saling menghargai eksistensi, berkeadilan, dantidak saling menimbulkan kerugian.(Q/60:8) Dalam hal kebutuhan pokok (mengatasi kelaparana, bencana alam, wabah penyakit). Solidaritas sosial dilaksanakan tanpamemandang agama, etnis dan identitas lainnya (Q/2:272). 6. Tidak memandang rendah kelompok lain, tidak pula meledek atau membenci mereka (Q/49:11) 7. Jika ada perselisihan diantara kaum beriman, maka islahnya haruslah merujuk kepada petunjuk al-Quran dan Sunah Nabi SAW. (Q/4:59) Al-Quran menyebut bahwa pada hakekatnya seorang mukin itu bersaudara seperti saudara sekandung, "innamal mu'minuna ikhwah." (Q/49/10). Hadist nabi bahwa memisalkan hubungan antara mukmin itu bagaikan hubungan anggota badan dalam satu tubuh dimana jika satu anggota tubuh sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain juga merasa sakit. Nabi juga mengingatkan bahwa hendaknya diantara sesama manusia tidak mengembangkan fikiran negatif (buruk sangka), tidak mencari-cari kesalahan orang lain, tidak saling mendengki, tidak saling membenci, tidak saling membelakangi tetapi kembangkanlah persaudaraan (HR Abu Hurairah). Meskipun demikian persaudaraan dan solidaritasnya harus berpijak pada kebenaran, bukan mentang-mentang saudara lalu buta terhadap masalah. al-Quran mengingatkan kepada orang mukmin agar tidak tergoda untuk melakukan perbuatan melampaui batas ketika orang lain melakukan hal yang sama kepada mereka. Sesama mukmin diperintahkan bekerjasama dalam hal kebajikan dan taqwa serta dilarang bekerjasama dalam membela perbuatan dosa dan permusuhan. "Ta'awanu 'alal birri wat taqwa wala ta'awanu 'alal istmi wal 'udwan." (Q5:2) Setiap orang itu -walaupun tidak disadarinya- pada hakikatnya adalah pemimpin, terlepas dari besar kecilnya jumlah orang dalam kelompok yang dipimpinnya. Meskipun hanya satu orang saja jumlah pengikutnya, dia sudah dapat dikatakan sebagai seorang pemimpin. Bahkan manusia seorang diri pun harus memimpin dirinya sendiri untuk mengarahkan hidupnya. Ketidak menyadari akan hal inilah yang merupakan salah satu sebab mengapa sebagian orang tidak peduli untuk mengembangkan ilmu kepemimpinannya, atau menjadikan dirinya enggan untuk menggali lebih dalam lagi potensi kepemimpinan yang ada pada dirinya. Padahal semua orang adalah pemimipin semua orang sama dimata Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 30 : 'Dan tatkala Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : 'Aku hendak jadikan khalifah di muka bumi...' . Sisi lain yang erat kaitannya dengan kepemimpinan ini -namun banyak diabaikan sebagian orang- adalah 'pengaruh'. Ketika orang lain memberikan sebuah nasihat atau sebuah cerita, kita akan mengingatnya, dan itu sesungguhnya adalah yang disebut sebagai pengaruh. Begitu juga sebaliknya, anda pun memberi pengaruh kepada orang lain, melalui perkataan atau perbuatan atau bahkan juga tindakan. Sesuatu yang sekalipun itu merupakan hal kecil yang remeh dan sepele, jika mempengaruhi anda, baik dalam sikap atau gaya hidup atau cara pandang atau bahkan sampai mengubah jalan hidup anda, maka itulah yang disebut sebagai pengaruh. Terlepas apakah diri anda mempunyai kedudukan resmi sebagai seorang pemimpin formal atau tidak, perlu disadari bahwa setiap kata yang terucap, setiap langkah dan sikap yang dibuat, akan menimbulkan pengaruh kepada orang lain yang berada disekitar anda. Sekiranya anda menyadari tentang semua hal tersebut diatas, maka segala perkataan atau perbuatan yang anda buat itu akan menggerakkan segala potensi yang ada pada diri anda, dan itu tanpa anda sadari akan menempatkan diri anda menjadi seorang 'pemimpin' bagi lingkungan anda. Namun bisa juga terjadi hal yang sebaliknya, justru lingkungan disekitar diri anda yang akan membuat anda menjadi seorang 'pengikut'. Disadari ataupun tak disadari, orang yang tidak memiliki 'prinsip' akan sangat mudah sekali terpengaruh, selanjutnya hampir dapat dipastikan akan menjadi orang itu sebagai seorang 'pengikut' di lingkungannya. Anda akan terus menjadi pengikut, tidak peduli apakah prinsip yang mempengaruhi diri anda itu adalah prinsip yang benar atau yang salah.Setiap hari disepanjang kehidupan anda, tak dapat dihindari, anda terus berjalan ditengah padang rumput yang dipenuhi oleh ranjau-ranjau yang berbahaya, yaitu ranjau-ranjau 'pengaruh' yang akan mempengaruhi pikiran atau cara pandang atau bahkan jalan hidup anda. Tidak peduli pengaruh itu berdasarkan suatu prinsip yang benar atau prinsip yang salah -terlepas dari seberapun jumlah orang yang berhasil dipengaruhi oleh tebaran ranjau-ranjau pengaruh itu- tetap saja seiring dengan berjalannya waktu, pengaruh itu akan mampu menghimpun sejumlah pengikut. Stalin atau Lenin atau Mao misalnya, terbukti berhasil menghimpun ratusan juta pengikut. Prinsip yang benar menurut kebenaran Allah SWT sajalah yang akan menyelamatkan diri anda dari kenistaan dan kehancuran. Dan dengan 'prinsip yang benar' itulah yang akan menjadikan diri anda sebagaiseorang pemimpin yang 'sejati'. Nabi Muhammad SAW bersabda : 'Hendaklah kamu berpegang kepada kebenaran, karena sesungguhnya kebenaran itu memimpin kepada kebaktian, dan kebaktian itu, membawa ke surga (kebahagiaan); hendaklah tetap seseorang itu bersifat benar dan memilih kebenaran hingga dia tertulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat benar; hendaklah kamu jauhi kedustaan, karena sesungguhnya kedustaan itu memimpin pada kedurhakaan, dan kedurhakaan membawa ke neraka (kehancuran); janganlah seseorang tetap berdusta dan memilih kedustaan hingga tertulis di sisi Allah sebagai pendusta'. Disekitar kita, banyak sekali contoh-contoh tipe pemimpin dengan tipikal dan gaya serta prinsipnya masing-masing, yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ada pemimpin yang sangat menonjol prestasi kerja dan integritasnya, namun karena kaku dan kurang ramah maka ia sangat tidak dicintai oleh lingkungannya. Sebaliknya ada juga pemimpin yang sesungguhnya kurang menonjol prestasi kerja dan integritasnya, namun karena pandai bergaul dan ramah tamah maka ia sangat dicintai oleh lingkungannya. Terkadang suatu pengaruh yang berasal dari rangkaian kata-kata yang indah dan mempesona, semangat, kebesaran, kultus individu, bisa membius kemudian akan membutakan hati nurani dan mata hati dari kebenaran. Dan manusia lainnya yang terpengaruh oleh prinsip yang terlihat indah namun sesungguhnya salah itu pun dapat ikut pula terseret ke jurang kehancuran. Jika pengaruh itu telah melekat kuat mempengaruhinya sehingga menciptakan suatu dogma keyakinan, maka bisajadi sampai ajal menjemput tak akan pernah disadarinya bahwa prinsipnya yang terlihat indah dan terasa benar itu sesungguhnya adalah suatu prinsip yang salah menurut kebenaran Allah SWT. Allah SWT berfirman pada surat Al-Ahzab ayat 21 : 'Sungguh, pada diri Rasulullah, kamu dapatkan suri tauladan yang indah bagi orang yang mengharapkan (rahmat Allah) dan (keselamatan) hariterakhir, serta banyak mengingat Allah'. Keberhasilan seorang pemimpin kadangkala hanya dilihat sebatas dari seberapa besar jumlah pengikut yang berhasil dihimpunnya dan seberapa jauh tingkat pengaruhnya pada pengikutnya itu. Namun sebagian orang melupakan faktor yang sesungguhnya 'sangat penting' untuk menilai tingkat keberhasilan seorang pemimpin, yaitu seberapa lama 'rentang waktu' pengaruhnya dan seberapa kuat 'tingkat pengaruhnya' dalam jangka rentang waktu yang lama itu. Terlalu banyak untuk disebutkan satu-persatu para pemimpin yang dianggap populer dan berhasil serta dianggap sebagai pemimpin besar bahkan dianggap lingkup pengaruhnya itu telah mendunia. Namun sesungguh-sungguhnya, pengaruh kepemimpinannya itu sesungguhnya hanyalah terhitung dalam rentang waktu yang relatif pendek saja. Setelah rentang waktunya itu hanyalah tinggal sebagai sebuah kenangan dalam catatan yang ditulis dalam buku sejarah saja dan boleh dikatakan pengaruhnya telah hampir hilang tak berbekas. Siapakah pemimpin yang sesungguhnya adalah pemimpin sejati dan yang besar dan yang abadi itu ?. Para pemimpin yang benar-benar pemimpin sejati dan yang merupakan pemimpin besar dan yang pemimpin abadi itu hanyalah mereka yang diturunkan dan ditugaskan oleh Tuhan sebagai pemimpin umat manusia.Mereka itu adalah Nabi Muhammad SAW, Ibrahim as,Isa as, Musa as, Daud as. Mereka itulah para pemimpin besar yang sejati dan abadi. Sekalipun beliau-beliau itu sudah tiada di dunia yang fana ini, namun pengaruhnya sampai detik ini masih begitu kuat bahkan akan semakin menguat, tak akan lekang oleh zaman sampai kiamat datang menjelang.Allah SWT berfirman dalam surat Al-An'aam ayat 132 : 'Dan masing-masing orang beroleh derajat, sesuai dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tiada lalai akan apa yang mereka lakukan'. Tak dapat disangkal, pemimpin sejati yang paling terbesar diantara semua yang terbesar itu adalah Nabi Muhammad SAW. Seorang penulis barat, Michael Hart, penulis buku 'Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah' menilai bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah semata hanya pemimpin agama saja tetapi juga pemimpin duniawi, pengaruh kepemimpinan politiknya selalu berada dalam posisi terdepan sepanjang waktu, suatu kombinasi yang tak terbandingkan antara segi agama dan segi dunia melekat pada pengaruh diri Nabi Muhammad SAW, dialah manusia yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia.Anda bisa mencintai orang lain tanpa memimpin mereka, tetapi anda tidak bisa memimpin orang lain tanpa mencintai mereka. Seorang pemimpin tidak bisa hanya menunjukkan prestasi kerjanya saja, namun juga harus mampu berhubungan secara baik dengan orang lain, dan itu tak dapat dilakukannya dengan baik jika hanya menerapkan cara dan teknik yang sekarang ini banyak diajarkan. Al An’aam - Ayat 66:6. Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasiitu) telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu , dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka , kemudian . Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain.Al Jin - Ayat 672:6. Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-lakidi antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. Banyak lagi ayat-ayat yang menekankan dengan berulang kali , bahwa bumi telah dihidupkan kembali (berulang-kali) dari matinya . Dimana matinya itu di sebabkan karena tidak di berikannya air / hujan kepada para pendahulu generasi manusia anak-cucu Adam AS , yang baru berumur 7000 tahun.Apapun yang dikatakan dalam kitab-kitab suci , ilmu pengetahuan ataupun teknologi dapat membuktikan bahwa ada sisa-sisa “manusia” yang telah berumur jutaan tahun . Bahkan teori Darwin-pun mengalami kesulitan dalam menghubungkan manusia purba dengan manusia masa kini (The missing-linktheorema).KESIMPULAN• Jelaslah disini bahwa Adam AS bukanlah merupakan hasil evolusi ataupun “keturunanmonyet” , seperti dikatakan Darwin • Tidak ada yang bertentangan antara ilmu pengetahuan dan concept ke-agama-an . Dan apa yang ditulis dalam kitab suci adalah sebenar-benarnya kenyataan dalam angka-angka yang akurat dan pasti. • Pada saat manusia akan diciptakan Allah SWT untuk menjadi kalifah dibumi,bagaimana para Malaikat mungkin mengetahui bahwa manusia hanya akan membuat kerusakan diatas bumi . Sedangkan Malaikat hanya mengetahui apa-apa yangdiberitahukan Allah SWT kepada mereka . Tentunya karena memang mereka pernah mengetahui adanya “manusia” dibumi sebelum Adam AS diciptakan .• Oleh sebab itu Allah SWT selalu menyatakan bahwa : “Manusia (anak-cucuAdam AS ) diciptakan dalam kesempurnaan-nya” . Dalam Injil dikatakan bahwa “Man was created upon the image of God).. Serta banyak kalimat pada Taurat (Perjanjian Lama) yang membedakan antara “anak manusia” dan “anak Allah” , “adanya manusia-manusia yang besar pada saat itu” , bagaimana takutnya anak-anak Adam yang keluar dari surga dengan adanya ancaman / gangguan diluar.Semoga tulisan yang kami ambil dari berbagai sumber ini dapat penjadikan pencerahan kita semua, terutama bagi mereka yang masih meragukan Islam. sertapimpinan negeri tercinta ini, semoga Allah dapat segera membebaskan negei kita tercnta ini dari bencana yang silih berganti. Bercerminlah pada hati nurani anda masing-maing, asahlah dengan kepekaan batinagar hati kita ini semakin tajam menangkap setiap isyarat yang diberikan AllahSWT. Semoga, dan semoga kita secepatnya bertaobat, sebelum nafas kita hinggap dialam yang lebih kekal dan abadi.Sudah amanahkah kita setiap melakukan suatu pekerjaan ?. Keberanian adalah kuncikeberhasilan untuk meraih tujuan. Dalam meraih tujuan dahulukan caranya untukmeraih, tetapi jangan terpikir akan hasilnya.Karena hasil akan paralel dengan caradan usaha kita untuk meraihnya.Wassalam, wr wbKoko alumni PPS UHAMKA angkatan XI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar