SEMUA MANUSIA HARUS BERORIENTASI PADA TUJUAN HIDUP MANUSIA
Bismillahirrahmanirahim
!Assalamu’alaikum Wr, WbSungguh bahwa Allah SWT menempatkan Manusia
keseluruhan sebagai Bani Adam dalam kedudukan yang mulia, "Walaqad
karramna Bani Adam." (Q/17:70). Manusia diciptakan Allah SWT dengan
identitas yang berbeda-beda agar mereka saling mengenal dan saling
memberi manfaat yang satu dengan yang lainnya (Q/49:13). Tiap-tiap umat
diberi aturan dan jalan (yang berbeda), padahal seandainya Tuhan mau,
seluruh manusia bisa disatukan dalam kesatuan umat. Allah SWT
menciptakan perbedaan itu untuk memberikan peluang berkompetisi secara
sehat dalam menggapai kebajikan, "fastabiqul khairat."(Q/5:48). Oleh
karena itu sebagaimana dikatakan oleh rasul SAW, agar seluruh manusia
itu menjadi saudara antara satu dengan yang lainnya, "Wakunu 'ibadallahi
ikhwana."(Hadist Bukhari).1.Apakah manusia memang memiliki kemampuan
bernalar ?•Oleh sebab itu Allah SWT selalu menyatakan bahwa : “Manusia
(anak-cucuAdam AS ) diciptakan dalam kesempurnaan-nya” . Dalam Injil
dikatakan bahwa “Man was created upon the image of God).. Serta banyak
kalimat pada Taurat (Perjanjian Lama) yang membedakan antara “anak
manusia” dan “anak Allah” , “adanya manusia-manusia yang besar pada saat
itu” , bagaimana takutnya anak-anak Adam yang keluar dari surga dengan
adanya ancaman / gangguan diluarFondasi dalam Etika IslamDalam Al-Qur'an
dijelaskan bahwa tujuan para Rasul Allah ialah mewujudkan masyarakat
ber-Ketuhanan (rabbaniyun--Q. 3:79), yaitu masyarakat yang para
anggotanya dijiwai oleh semangat mencapai rida Allah, melalui perbuatan
baik bagi sesamanya dan kepada seluruh makhluk. Inilah dasar pandangan
etis keagamaan. Dan seluruh pemikiran bidang-bidang etika (sosial,
politik, antaragama, lingkungan, biomedis, bisnis, dan seterusnya)
--dari sudut pandang keagamaan-- haruslah dibangun dari dasar ini. Makna
rabbaniyah itu adalah sama dengan ''berkeimanan'' dan ''berketakwaan''
atau lebih sederhananya, ''beriman'' dan ''bertakwa'' --atau ''imtak''
akronim yang sekarang populer. Dari sudut pandang sistem paham
keagamaan, iman dan takwa adalah fondasi (Arab: asas) yang benar bagi
semua segi kehidupan manusia. ''Manakah yang terbaik? Mereka yang
mendirikan bangunannya atas dasar takwa dan keridaan Allah, ataukah yang
mendirikan bangunannya di atas tanah pasir di tepi jurang lalu runtuh
bersamanya ke dalam api neraka?'' (Q. 9:109). Implikasi dan ramifikasi
Ketuhanan Yang Maha Esa ini, jika kita mencoba mengidentifikasinya,
kurang lebih akan mengahasilkan nilai-nilai berikut, yang bolehlah kita
sebut fondasi untuk etika Islam--yang harus menjadi dasar normatif dari
apapun yang akan kita bangun atas nama Islam, yaitu bahwa manusia tidak
dibenarkan memutlakkan sesuatu apa pun selain Tuhan Yang Maha Esa itu
sendiri. Mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai yang mutlak berarti
menyadari bahwa Tuhan tidak dapat dijangkau oleh akal manusia. Maka
Tuhan tidak dapat diketahui, tetapi dapat diinsyafi sedalam-dalamnya
keberadaannya. Dialah asal dan tujuan hidup manusia, dengan
konsekuensinya bahwa manusia harus membaktikan seluruh hidupnya demi
memperoleh perkenan atau rida-Nya.Di sini, tidak memutlakkan sesuatu apa
pun selain Tuhan Yang Maha Esa berarti tidak menjadikan sesuatu selain
dari Dia sebagai tujuan hidup. Dalam wujudnya yang minimal, contoh
menjadikan sesuatu selain Tuhan sebagai tujuan hidup adalah sikap
pamrih, tidak ikhlas.Pandangan hidup yang berorientasi ketuhanan ini
terkait erat dengan pandangan bahwa manusia adalah puncak ciptaan Tuhan,
yang diciptakan-Nya dalam sebaik-baik kejadian. Manusia berkedudukan
lebih tinggi daripada ciptaan Tuhan manapun di seluruh alam, malah lebih
tinggi daripada alam itu sendiri. Tuhan telah memuliakan manusia. Oleh
karena itu, manusia harus menjaga harkat dan martabatnya itu, dengan
tidak bersikap menempatkan alam atau gejala alam lebih tinggi daripada
dirinya sendiri (lewat mitologi alam atau gejalanya), atau menempatkan
seseorang, atau diri sendiri, lebih tinggi daripada orang lain (lewat
tirani atau mitologi terhadap sesama manusia). Mengenai manusia: Pada
hakikatnya, manusia diciptakan sebagai makhluk kebaikan (fithrah), oleh
karena itu masing-masing pribadi manusia harus berpandangan baik kepada
sesamanya dan berbuat baik untuk sesamanya. Sebaliknya, sebagai ciptaan
yang lebih rendah daripada manusia, alam ini disediakan oleh Tuhan bagi
kepentingan manusia untuk kesejahteraan hidupnya, baik yang bersifat
spiritual maupun yang bersifat material. Alam diciptakan Tuhan sebagai
wujud yang baik dan nyata (tidak semu), dan dengan hukum-hukumnya yang
tetap, baik yang berlaku dalam kesejahteraannya yang utuh maupun yang
berlaku dalam bagiannya secara spesifik. Oleh karena itu, manusia harus
mengamati alam raya ini dengan penuh apresiasi, baik dalam kaitannya
dengan keseluruhannya yang utuh maupun dalam kaitannya dengan bagiannya
yang tertentu, semuanya sebagai ''manifestasi'' Tuhan (perkataan Arab
''`alam'' memang bermakna asal ''manifestasi''), guna menghayati
keagungan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai dasar kesejahteraan
spiritual.Dengan memperhatikan alam itu, terutama gejala spesifiknya,
manusia dapat menemukan patokan dalam usaha memanfaatkannya (sebagai
dasar kesejahteraan material, melalui ilmu pengetahuan dan teknologi).
Dengan prinsip ini, manusia dapat mengemban tugas membangun dunia ini
dan memeliharanya sesuai dengan hukum-hukumnya yang berlaku dalam
keseluruhannya secara utuh (tidak hanya dalam bagiannya secara parsial
semata), demi usaha mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi. Di
sinilah letak relevansi keimanan untuk wawasan lingkungan, atau
environmentalism.Di atas segala-galanya, manusia juga harus senantiasa
berusaha menjaga konsistensi dan keutuhan orientasi hidupnya yang luhur
(menuju perkenan Tuhan Yang Maha Esa), dengan senantiasa memelihara
hubungan dengan Tuhan, dan dengan perbuatan baik kepada sesama manusia.
Perbuatan baik kepada sesama manusia yang dilakukan dengan konsisten,
tujuan luhurnya adalah menuju rida-Nya, bukan semata-semata dengan
mengikuti dan menjalankan segi-segi formal lahiriah ajaran agama,
seperti ritus keagamaan. Simbolisme tanpa substansi adalah muspra, jika
bukan kesesatan itu sendiri.Oleh karena itu, manusia harus bekerja
sebaik-baiknya, sesuai bidang masing- masing, menggunakan setiap waktu
lowong secara produktif dan senantiasa berusaha menanamkam kesadaran
Ketuhanan dalam dirinya. Manusia dalam pandangan Tuhan tidak memperoleh
apa-apa kecuali yang ia usahakan sendiri, tanpa menanggung kesalahan
orang lain. Ini berarti manusia harus manyadari bahwa semua
perbuatannya, baik dan buruk, besar dan kecil, akan
dipertanggungjawabkan dalam Pengadilan Ilahi di Hari Kemudian, dan
manusia akan menghadapi Hakim Maha Agung, mutlak sebagai
pribadi-pribadi, sebagaimana ia juga adalah seorang pribadi ketika Tuhan
menciptakannya pertama kali. Karena iman, manusia menjadi bebas dan
memiliki dirinya sendiri secara utuh (tidak mengalami fragmentasi),
sebab ia tidak tunduk kepada apapun selain kepada Sang Kebenaran
(al-Haqq, yaitu Allah, Tuhan Yang Maha Esa). Ini dinyatakan dalam
kegiatan ibadah yang hanya ditujukan kepada Tuhan semata, tidak
sedikitpun kepada yang lain, karena sadar akan Ke-Maha-Agung-an Tuhan.
Namun, dengan iman ini manusia juga hidup penuh tanggung jawab, karena
sadar akan adanya Pengadilan Ilahi itu kelak. Ini secara amaliah
dinyatakan dalam sikap memelihara hubungan yang sebaik-baiknya dengan
sesama manusia berwujud persaudaraan, saling menghargai,
tenggang-menenggang dan saling membantu, karena sadar akan makna penting
usaha menyebarkan perdamaian (salam) antara sesamanya.Perbedaan antara
sesama manusia harus didasari sebagai ketentuan Tuhan, karena Dia tidak
menghendaki terjadinya susunan masyarakat yang monolitik. Pluralitas
yang sehat justru diperlukan sebagai kerangka adanya kompetisi ke arah
berbagai kebaikan, sehingga perbedaan yang sehat merupakan rahmat bagi
manusia.Dan melandasi semua itu ialah keyakinan dan kesadaran bahwa
Tuhan adalah Maha Hadir, menyertai dan bersama setiap individu di
manapun ia berada, dan Maha Tahu akan segala perbuatan individu itu,
serta tidak akan lengah sedikitpun untuk memperhitungkan
amal-perbuatannya, biar sekecil apapun. Akhirnya, memang selalu ada
kesenjangan antara yang normatif dan historis dalam sejarah perwujudan
nilai-nilai Islam seperti di atas. Tetapi, inilah kurang lebih
identifikasi sendi-sendi pokok pandangan hidup berdasarkan iman itu.
Kesemua nilai tersebut berdasarkan Kitab Suci dan Sunnah Nabi, dan harus
menjadi bagian dari sumber etis seorang Muslim dalam semua kegiatan.
Yang normatif melandasi yang historis, yang historis akan memperlihatkan
apakah yang normatif itu telah berjalan dalam masyarakat.Begitulah
kenyataan ummat ini; mungkin banyak orang saleh diantara mereka, tapi
semuanya seperti daun-daun yang berhamburan, tidak terhimpun dalam
sebuah wadah yang bernama jama'ah. Mungkin banyak orang hebat diantara
mereka, tapi kehebatan mereka hilang diterpa angin zaman. Mungkin banyak
potensi yang tersimpan pada individu- individu diantara mereka, tapi
semuanya berserakan di sana sini, tak terhimpun. Maka jama'ah adalah
alat yang diberikan Islam bagi umatnya untuk menghimpun daun-daun yang
berhamburan itu; supaya kekuatan setiap satu orang saleh, atau orang
hebat, atau satu potensi, bertemu padu dengan kekuatan saudaranya yang
lain, yang sama salehnya, yang sama hebatnya, yang sama potensialnya.
Jama'ah juga merupakan cara yang paling tepat untuk menyederhanakan
perbedaan-perbedaan pada individu. Di dalam satu jama'ah, individu-
individu yang memiliki kemiripan disatukan dalam sebuah simpul. Maka
meskipun ada banyak jama'ah, itu tetap jauh lebih baik daripada tidak
ada sama sekali. Sebab jauh lebih mudah memetakan orang banyak melalui
pengelompokan atau simpul-simpulnya, ketimbang harus memetakan mereka
sebagai individu. Jalan panjang menuju kebangkitan kembali ummat ini,
harus dimulai dari menghimpun daun-daun yang berhamburan itu, merajut
kembali jalinan cinta diantara mereka, menyatukan potensi dan kekuatan
mereka, kemudian `meledakkannya' pada momentum sejarahnya, menjadi pohon
peradaban yang teduh, yang menaungi kemanusiaan. Tapi itulah
masalahnya. Ternyata itu bukan pekerjaan yang mudah. Ternyata cinta
tidak mudah ditumbuhkan diantara mereka. Ternyata orang saleh tidak
mudah disatukan. Ternyata orang hebat tidak selalu bersedia menyatu
dengan orang hebat yang lain. Mungkin itu sebabnya, ada ungkapan di
kalangan gangster mafia; seorang prajurit yang bodoh, kadang-kadang
lebih berguna dari pada dua orang jenderal yang hebat. Tapi tidak ada
jalan lain; nabi umat ini tidak akan pernah memaafkan setiap orang
diantara kita untuk meninggalkan jama'ah semata-mata karena ia tidak
menemukan kecocokan bersama orang lain dalam jama'ahnya. Sebab,
kekeruhan jama'ah, kata Imam Ali Bin Abi Thalib Ra, jauh lebih baik
daripada kejernihan individu. Dari Individu ke Jama'ah Orang-orang saleh
diantara kita harus menyadari, bahwa tidak banyak yang dapat ia berikan
atau sumbangkan untuk Islam kecuali kalau ia bekerja di dalam dan
melalui jama'ah. Mereka tidak dapat menolak fakta bahwa tidak ada orang
yang dapat mempertahankan hidupnya tanpa bantuan orang lain, bahwa tidak
pernah ada orang yang dapat melakukan segalanya atau menjadi segalanya,
bahwa kecerdasan individual tidak pernah dapat mengalahkan kecerdasan
kolektif. Bekerja di dalam dan melalui jama'ah tidak hanya terkait
dengan fitrah sosial kita, tapi terutama terkait dengan kebutuhan kita
untuk menjadi lebih efisien, efektif dan produktif. Ada juga alasan
lain. Kita hidup dalam sebuah zaman yang oleh ahli- ahlinya dicirikan
sebagai masyarakat jaringan, masyarakat organisasi. Semua aktivitas
manusia dilakukan di dalam dan melalui organisasi; pemerintahan,
politik, militer, bisnis, kegiatan sosial kemanusiaan, rumah tangga,
hiburan dan lainnya. Itu merupakan kata kunci yang menjelaskan, mengapa
masyarakat moderen menjadi sangat efektif dan efisien serta produktif.
Masyarakat modern bekerja dengan kesadaran bahwa keterbatasan-
keterbatasan yang ada pada setiap individu sesungguhnya dapat
dihilangkan dengan mengisi keterbatasan mereka itu dengan kekuatan-
kekuatan yang ada pada individu-individu yang lain. Jadi kebutuhan
setiap individu Muslim untuk bekerja, atau beramal Islami di dalam dan
melalui jama'ah, bukan saja lahir dari kebutuhan untuk meningkatkan
efektivitas, efesiensi dan produktivitasnya, tapi juga lahir dari
kebutuhan untuk bekerja dan beramal Islami pada level yang setara dengan
tantangan zaman kita. Musuh-musuh kita mengelola dan mengorganisasi
pekerjaan-pekerjaan mereka dengan rapi, sementara kita bekerja
sendiri-sendiri, tanpa organisasi, dan kalau ada, biasanya tanpa
manajemen. Pilihan untuk bekerja dan beramal Islami di dalam dan melalui
jama'ah hanya lahir dari kesadaran mendalam seperti ini. Tapi kesadaran
ini saja tidak cukup. Ada persyaratan psikologis lain yang harus kita
miliki untuk dapat bekerja lebih efektif, efisien dan produktif dalam
kehidupan berjama'ah. Pertama, kesadaran bahwa kita hanyalah bagian dari
fungsi pencapaian tujuan. Jama'ah didirikan untuk mencapai
tujuan-tujuan besar. Untuk jama'ah bekerja dengan sebuah perencanaan dan
strategi yang komprehensif dan integral. Di dalam strategi besar itu,
individu harus ditempatkan sebagai bagian dari keseluruhan elemen yang
diperlukan untuk mencapainya. Jadi sehebat apa pun seorang individu,
bahkan sebesar apa pun kontribusinya, dia tidak boleh merasa lebih besar
daripada strategi dimana ia merupakan salah satu bagiannya. Begitu ada
individu yang merasa lebih besar dari strategi jama'ah, maka strategi
itu akan berantakan. Untuk itu setiap indvidu harus memiliki kerendahan
hati yang tulus. Kedua, semangat memberi yang mengalahkan semangat
menerima. Dalam kehidupan berjama'ah terjadi proses memberi dan
menerima. Tapi jika pada sebagian besar proses kita selalu berada pada
posisi menerima, maka secara perlahan kita `mengkonsumsi'
kebaikan-kebaikan orang lain hingga habis. Itu tidak akan pernah mampu
melanggengkan hubungan individu dalam sebuah jama'ah. Betapa bijak
nasihat KH Ahmad Dahlan kepada warga Muhammadiyah; "Hidup-hidupkanlah
Muhammadiyah, dan jangan mencari hidup dalam Muhammadiyah". Ketiga,
kesiapan untuk menjadi tentara yang kreatif. Pusat stabilitas dalam
jama'ah adalah kepemimpinan yang kuat. Tapi seorang pemimpin hanya akan
menjadi efektif apabila ia memiliki prajurit-prajurit yang taat dan
setia. Ketaatan dan kesetiaan adalah inti keprajuritan. Begitu kita
bergabung dalam sebuah jama'ah, kita harus bersiap untuk menjadi taat
dan setia. Tapi ruang lingkup amal Islami yang sangat luas membutuhkan
manusia-manusia kreatif. Dan kreativitas tidak bertentangan dengan
ketaatan dan kesetiaan. Jadi kita harus menggabungkan antara ketaatan
dan kreativitas; ketaatan lahir dari kedisiplinan dan komitmen,
sementara kreativitas lahir dari kecerdasan dan kelincahan. Dan itu
merupakan perpaduan yang indah. Keempat, berorientasi pada karya, bukan
pada posisi. Jebakan terbesar yang dapat menjerumuskan kita dalam
kehidupan berjama'ah adalah posisi struktural. Jama'ah hanyalah wadah
bagi kita untuk beramal. Maka kita harus selalu berorientasi pada amal
dan karya yang menjadi tujuan utama kita berjama'ah, dan memandang
posisi structural sebagai perkara sampingan saja. Dengan begitu kita
akan selalu bekerja dan berkarya ada atau tanpa posisi struktural.
Kelima, bekerjasama walaupun berbeda. Perbedaan adalah tabiat kehidupan
yang tidak dapat dimatikan oleh jama'ah. Maka adalah salah jika berharap
untuk hidup dalam sebuah jama'ah yang bebas dari perbedaan. Yang harus
kita tumbuhkan adalah kemampuan jiwa dan kelapangan dada untuk tetap
bekerjasama di tengah berbagai perbedaan. Perbedaan tidaklah sama dengan
perpecahan, dan karena itu kita tetap dapat bersatu walaupun kita
berbeda. Jama'ah yang Efektif Mungkin jauh lebih realistis untuk mencari
jama'ah yang efektif ketimbang mencari jama'ah yang ideal. Kita adalah
ummat yang sakit. Setiap kita mewarisi kadar tertentu dari penyakit
tersebut. Jika orang-orang sakit itu saling bertemu dalam sebuah
jama'ah, pada dasarnya jama'ah itu juga merupakan jama'ah yang sakit.
Itulah faktanya. Tapi tugas kita menyalakan lilin, bukan mencela
kegelapan. Jama'ah yang efektif adalah jama'ah yang dapat mengeksekusi
atau merealisasikan rencana-rencananya. Kemampuan eksekusi itu lahir
dari integrasi antara berbagai elemen; ada sasaran dan target yang
jelas, strategi yang tepat, sarana pendukung yang memadai, pelaku yang
bekerja dengan penuh semangat, lingkungan strategi yang kondusif.
Jama'ah yang didirikan untuk kepentingan menegakkan syariat Allah Swt di
muka bumi, akan menjadi efektif apabila ia memiliki syarat-syarat
berikut ini; Pertama, ikatannya aqidah, bukan kepentingan. Orang-orang
yang bergabung dalam jama'ah itu disatukan oleh ikatan aqidah,
dipersaudarakan oleh iman, dan bekerja untuk kepentingan Islam. Mereka
tidak disatukan oleh kepentingan duniawi yang biasanya lahir dari dua
kekuatan syahwat; keserakahan (hubbud dunya) dan ketakutan (karahiatul
maut). Kedua, jama'ah itu sarana, bukan tujuan. Jama'ah itu tetap
diposisikan sebagai sarana, bukan tujuan. Sehingga tidak ada alasan
untuk memupuk dan memelihara fanatisme sekadar untuk menunjukkan
kesetiaan pada grup. Hilangnya fanatisme juga memungkinkan jama'ah-
jama'ah itu saling bekerja sama diantara mereka, membangun jaringan yang
kuat, dan tidak terjebak dalam pertarungan yang saling mematikan.
Ketiga, sistem, bukan tokoh. Jama'ah itu akan menjadi efektif jika
orang-orang yang ada di dalamnya bekerja dengan sebuah sistem yang
jelas, bukan bekerja dengan seseorang yang berfungsi sebagai sistem.
Pemimpin dan prajurit hanyalah bagian dari strategi, sistem adalah
sesuatu yang terpisah. Dengan cara ini kita mencegah munculnya
diktatorisme dimana selera sang Pemimpin menjelma menjadi sistem.
Keempat, penumbuhan, bukan pemanfaatan. Sebuah jama'ah akan menjadi
efektif jika ia memandang dan menempatkan orang-orang yang bergabung ke
dalamnya sebagai pelaku-pelaku, yang karenanya perlu ditumbuh-
kembangkan secara terus menerus, untuk fungsi pencapaian tujuan jama'ah
itu. Jama'ah itu akan menempatkan dirinya sebagai fasilitator bagi
perkembangan kreativitas individunya, dan tidak memandang mereka sebagai
pembantu-pembantu yang harus dipaksa bekerja keras, atau sapi- sapi
yang dungu yang harus diperah setiap saat. Kelima, mengelola perbedaan,
bukan mematikannya. Jama'ah yang efektif selalu mampu mengubah keragaman
menjadi sumber kreativitas kolektifnya. Dan itu dilakukan melalui
mekanisme syuro yang dapat memfasilitasi setiap perbedaan untuk diubah
menjadi konsensusK02 PEP Ang XI( dikutip dari berbabagai Sumber yang
relevan )UKUWAH yang Islamiah dan AMANAHDalam bahasa arab, ada kalimat
"ukhuwah."(Persaudaraan), ada alimat "ikhwah"(saudara seketurunan) dan
"ikhwan" (saudara bukan seketurunan). Dalam Al- quran kata
"akhu"(saudara) digunakan untuk menyebut saudara kandung atau
seketurunan(Q/4:23), saudara sebangsa (Q/7:65) saudara semasyarakat
walau berselisih faham(Q/38:23) dan saudara seiman(Q49:10). Quran bukan
hanya menyebut persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniyyah) tetapi
bahkan menyebut binatang dan burung sebagai umat seperti manusia
(Q/6:38). sebagai saudara semakhluk (ukhuwah makhluqiyah) Istilah
"ukhuwah islamiyah." bukan bermakna persaudaraan antara orang-orang
Islam, tetapi persaudaraan yang didasarkan pada ajaran Islam atau
persaudaraan yang bersifat islami. Oleh karena itu cakupannya "ukhuwah
Islamiyyah"bukan hanya menyangkut sesama orang Islam namun juga
menyangkut dengan non Muslim bahkan makhluk yang lainnya. Misalnya,
seorang pemiliki kuda, tidak boleh membebani kudanya dengan beban yang
melampaui batas kewajaran. Ajaran ini termasuk ajaran ukhuwwah
Islamiyyah. bagaimana seorang muslim bergaul dengan kuda miliknya. Dari
ayat-ayat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Quran dan Hadist
sekurang-kurangnya memperkenalkan empat macam ukhuwah yaitu:
1.Khuwah'ubudiyyah:Persaudaraan karena sesama makhluk yang tunduk kepada
Allah SWT. 2.Ukhuwah Insaniyyah atau basyariyyah: Persaudaraan karena
sama-sama manusia secara keseluruhan. 3.Ukhuwah wathaniyyah wa an nasab:
Persaudaraan karena keterikatan keturuanan dan kebangsaan. 4.Ukhuwah
diniyyah, persaudaraan karena seagama. Bagaimana ukhuwah berlangsaung,
tak lepas dari faktor penunjang. Faktor penunjang signifikan membentuk
persaudaraan adalah persamaan. Semakin banyak persamaan, baik persamaan
rasa maupun persamaan cita-cita maka semakin kokoh ukhuwahnya. Ukhuwa
biasanya melahirkan aksi solidaritas. Contohnya diantara kelompok
masyarakat yang sedang berselisih, segera terjalin persaudaraan ketika
semuanya menjadi korban banjir, karena banjir menyatukan perasaan, yakni
sama- sama merasa menderita. Kesamaan perasaan itu kemudian memunculkan
kesadaran untuk saling membantu. Petunjuk Al-Quran Tentang Ukhuwah : 1.
Tetaplah berkompetisi secara sehat dalam melakukan kebajikan, meski
merekaberbeda agama, ideologi, status: "fastaqul khairat."(Q/5:48).
Jangan berfikirmenjadi manusia dalam kesaragaman, memaksa orang lain
untuk berpendirian sepertikita. Misalnya, Allah SWT menciptakan kita
perbedaan sebagai rahmat, untuk menguji mereka siapa diantara mereka
yang memberikan kontribusi terbesar dalam kebajikan 2. Memelihara amanah
(tanggung jawab)sebagai khalifah Allah dimuka bumi, dimana manusia
dibebani keharusan menegakkan kebenaran dan keadilan (Q/38:26).
Sertamemelihara keseimbangan lingkungan alam (Q/112:4). 3. Kuat
pendirian tetapi menghargai pendirian orang lain "lakum dinukum
wliyadin." (Q/112:4). Tidak perlu bertengkar dengan asumsi bahwa
kebenaran akan terbuka nanti dihadapan Allah SWT(Q/42:15). 4. Meski
berbeda ideologi dan pandangan tetapi harus berusaha mencari titik temu,
"kalimatin sawa" tidak bermusuhan seraya mengakui eksistensi
masing-masingQ/3:64). 5. Tidak mengapa bekerjasama dengan pihak yang
berbeda pendirian dalam halkemaslahatan umum, atas dasar saling
menghargai eksistensi, berkeadilan, dantidak saling menimbulkan
kerugian.(Q/60:8) Dalam hal kebutuhan pokok (mengatasi kelaparana,
bencana alam, wabah penyakit). Solidaritas sosial dilaksanakan
tanpamemandang agama, etnis dan identitas lainnya (Q/2:272). 6. Tidak
memandang rendah kelompok lain, tidak pula meledek atau membenci mereka
(Q/49:11) 7. Jika ada perselisihan diantara kaum beriman, maka islahnya
haruslah merujuk kepada petunjuk al-Quran dan Sunah Nabi SAW. (Q/4:59)
Al-Quran menyebut bahwa pada hakekatnya seorang mukin itu bersaudara
seperti saudara sekandung, "innamal mu'minuna ikhwah." (Q/49/10). Hadist
nabi bahwa memisalkan hubungan antara mukmin itu bagaikan hubungan
anggota badan dalam satu tubuh dimana jika satu anggota tubuh sakit,
maka seluruh anggota tubuhnya yang lain juga merasa sakit. Nabi juga
mengingatkan bahwa hendaknya diantara sesama manusia tidak mengembangkan
fikiran negatif (buruk sangka), tidak mencari-cari kesalahan orang
lain, tidak saling mendengki, tidak saling membenci, tidak saling
membelakangi tetapi kembangkanlah persaudaraan (HR Abu Hurairah).
Meskipun demikian persaudaraan dan solidaritasnya harus berpijak pada
kebenaran, bukan mentang-mentang saudara lalu buta terhadap masalah.
al-Quran mengingatkan kepada orang mukmin agar tidak tergoda untuk
melakukan perbuatan melampaui batas ketika orang lain melakukan hal yang
sama kepada mereka. Sesama mukmin diperintahkan bekerjasama dalam hal
kebajikan dan taqwa serta dilarang bekerjasama dalam membela perbuatan
dosa dan permusuhan. "Ta'awanu 'alal birri wat taqwa wala ta'awanu 'alal
istmi wal 'udwan." (Q5:2) Setiap orang itu -walaupun tidak disadarinya-
pada hakikatnya adalah pemimpin, terlepas dari besar kecilnya jumlah
orang dalam kelompok yang dipimpinnya. Meskipun hanya satu orang saja
jumlah pengikutnya, dia sudah dapat dikatakan sebagai seorang pemimpin.
Bahkan manusia seorang diri pun harus memimpin dirinya sendiri untuk
mengarahkan hidupnya. Ketidak menyadari akan hal inilah yang merupakan
salah satu sebab mengapa sebagian orang tidak peduli untuk mengembangkan
ilmu kepemimpinannya, atau menjadikan dirinya enggan untuk menggali
lebih dalam lagi potensi kepemimpinan yang ada pada dirinya. Padahal
semua orang adalah pemimipin semua orang sama dimata Allah SWT. Allah
SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 30 : 'Dan tatkala Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat : 'Aku hendak jadikan khalifah di muka
bumi...' . Sisi lain yang erat kaitannya dengan kepemimpinan ini -namun
banyak diabaikan sebagian orang- adalah 'pengaruh'. Ketika orang lain
memberikan sebuah nasihat atau sebuah cerita, kita akan mengingatnya,
dan itu sesungguhnya adalah yang disebut sebagai pengaruh. Begitu juga
sebaliknya, anda pun memberi pengaruh kepada orang lain, melalui
perkataan atau perbuatan atau bahkan juga tindakan. Sesuatu yang
sekalipun itu merupakan hal kecil yang remeh dan sepele, jika
mempengaruhi anda, baik dalam sikap atau gaya hidup atau cara pandang
atau bahkan sampai mengubah jalan hidup anda, maka itulah yang disebut
sebagai pengaruh. Terlepas apakah diri anda mempunyai kedudukan resmi
sebagai seorang pemimpin formal atau tidak, perlu disadari bahwa setiap
kata yang terucap, setiap langkah dan sikap yang dibuat, akan
menimbulkan pengaruh kepada orang lain yang berada disekitar anda.
Sekiranya anda menyadari tentang semua hal tersebut diatas, maka segala
perkataan atau perbuatan yang anda buat itu akan menggerakkan segala
potensi yang ada pada diri anda, dan itu tanpa anda sadari akan
menempatkan diri anda menjadi seorang 'pemimpin' bagi lingkungan anda.
Namun bisa juga terjadi hal yang sebaliknya, justru lingkungan disekitar
diri anda yang akan membuat anda menjadi seorang 'pengikut'. Disadari
ataupun tak disadari, orang yang tidak memiliki 'prinsip' akan sangat
mudah sekali terpengaruh, selanjutnya hampir dapat dipastikan akan
menjadi orang itu sebagai seorang 'pengikut' di lingkungannya. Anda akan
terus menjadi pengikut, tidak peduli apakah prinsip yang mempengaruhi
diri anda itu adalah prinsip yang benar atau yang salah.Setiap hari
disepanjang kehidupan anda, tak dapat dihindari, anda terus berjalan
ditengah padang rumput yang dipenuhi oleh ranjau-ranjau yang berbahaya,
yaitu ranjau-ranjau 'pengaruh' yang akan mempengaruhi pikiran atau cara
pandang atau bahkan jalan hidup anda. Tidak peduli pengaruh itu
berdasarkan suatu prinsip yang benar atau prinsip yang salah -terlepas
dari seberapun jumlah orang yang berhasil dipengaruhi oleh tebaran
ranjau-ranjau pengaruh itu- tetap saja seiring dengan berjalannya waktu,
pengaruh itu akan mampu menghimpun sejumlah pengikut. Stalin atau Lenin
atau Mao misalnya, terbukti berhasil menghimpun ratusan juta pengikut.
Prinsip yang benar menurut kebenaran Allah SWT sajalah yang akan
menyelamatkan diri anda dari kenistaan dan kehancuran. Dan dengan
'prinsip yang benar' itulah yang akan menjadikan diri anda
sebagaiseorang pemimpin yang 'sejati'. Nabi Muhammad SAW bersabda :
'Hendaklah kamu berpegang kepada kebenaran, karena sesungguhnya
kebenaran itu memimpin kepada kebaktian, dan kebaktian itu, membawa ke
surga (kebahagiaan); hendaklah tetap seseorang itu bersifat benar dan
memilih kebenaran hingga dia tertulis di sisi Allah sebagai orang yang
sangat benar; hendaklah kamu jauhi kedustaan, karena sesungguhnya
kedustaan itu memimpin pada kedurhakaan, dan kedurhakaan membawa ke
neraka (kehancuran); janganlah seseorang tetap berdusta dan memilih
kedustaan hingga tertulis di sisi Allah sebagai pendusta'. Disekitar
kita, banyak sekali contoh-contoh tipe pemimpin dengan tipikal dan gaya
serta prinsipnya masing-masing, yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Ada pemimpin yang sangat menonjol prestasi kerja dan integritasnya,
namun karena kaku dan kurang ramah maka ia sangat tidak dicintai oleh
lingkungannya. Sebaliknya ada juga pemimpin yang sesungguhnya kurang
menonjol prestasi kerja dan integritasnya, namun karena pandai bergaul
dan ramah tamah maka ia sangat dicintai oleh lingkungannya. Terkadang
suatu pengaruh yang berasal dari rangkaian kata-kata yang indah dan
mempesona, semangat, kebesaran, kultus individu, bisa membius kemudian
akan membutakan hati nurani dan mata hati dari kebenaran. Dan manusia
lainnya yang terpengaruh oleh prinsip yang terlihat indah namun
sesungguhnya salah itu pun dapat ikut pula terseret ke jurang
kehancuran. Jika pengaruh itu telah melekat kuat mempengaruhinya
sehingga menciptakan suatu dogma keyakinan, maka bisajadi sampai ajal
menjemput tak akan pernah disadarinya bahwa prinsipnya yang terlihat
indah dan terasa benar itu sesungguhnya adalah suatu prinsip yang salah
menurut kebenaran Allah SWT. Allah SWT berfirman pada surat Al-Ahzab
ayat 21 : 'Sungguh, pada diri Rasulullah, kamu dapatkan suri tauladan
yang indah bagi orang yang mengharapkan (rahmat Allah) dan (keselamatan)
hariterakhir, serta banyak mengingat Allah'. Keberhasilan seorang
pemimpin kadangkala hanya dilihat sebatas dari seberapa besar jumlah
pengikut yang berhasil dihimpunnya dan seberapa jauh tingkat pengaruhnya
pada pengikutnya itu. Namun sebagian orang melupakan faktor yang
sesungguhnya 'sangat penting' untuk menilai tingkat keberhasilan seorang
pemimpin, yaitu seberapa lama 'rentang waktu' pengaruhnya dan seberapa
kuat 'tingkat pengaruhnya' dalam jangka rentang waktu yang lama itu.
Terlalu banyak untuk disebutkan satu-persatu para pemimpin yang dianggap
populer dan berhasil serta dianggap sebagai pemimpin besar bahkan
dianggap lingkup pengaruhnya itu telah mendunia. Namun
sesungguh-sungguhnya, pengaruh kepemimpinannya itu sesungguhnya hanyalah
terhitung dalam rentang waktu yang relatif pendek saja. Setelah rentang
waktunya itu hanyalah tinggal sebagai sebuah kenangan dalam catatan
yang ditulis dalam buku sejarah saja dan boleh dikatakan pengaruhnya
telah hampir hilang tak berbekas. Siapakah pemimpin yang sesungguhnya
adalah pemimpin sejati dan yang besar dan yang abadi itu ?. Para
pemimpin yang benar-benar pemimpin sejati dan yang merupakan pemimpin
besar dan yang pemimpin abadi itu hanyalah mereka yang diturunkan dan
ditugaskan oleh Tuhan sebagai pemimpin umat manusia.Mereka itu adalah
Nabi Muhammad SAW, Ibrahim as,Isa as, Musa as, Daud as. Mereka itulah
para pemimpin besar yang sejati dan abadi. Sekalipun beliau-beliau itu
sudah tiada di dunia yang fana ini, namun pengaruhnya sampai detik ini
masih begitu kuat bahkan akan semakin menguat, tak akan lekang oleh
zaman sampai kiamat datang menjelang.Allah SWT berfirman dalam surat
Al-An'aam ayat 132 : 'Dan masing-masing orang beroleh derajat, sesuai
dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tiada lalai akan apa yang
mereka lakukan'. Tak dapat disangkal, pemimpin sejati yang paling
terbesar diantara semua yang terbesar itu adalah Nabi Muhammad SAW.
Seorang penulis barat, Michael Hart, penulis buku 'Seratus Tokoh Paling
Berpengaruh dalam Sejarah' menilai bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah
semata hanya pemimpin agama saja tetapi juga pemimpin duniawi, pengaruh
kepemimpinan politiknya selalu berada dalam posisi terdepan sepanjang
waktu, suatu kombinasi yang tak terbandingkan antara segi agama dan segi
dunia melekat pada pengaruh diri Nabi Muhammad SAW, dialah manusia yang
paling berpengaruh dalam sejarah manusia.Anda bisa mencintai orang lain
tanpa memimpin mereka, tetapi anda tidak bisa memimpin orang lain tanpa
mencintai mereka. Seorang pemimpin tidak bisa hanya menunjukkan
prestasi kerjanya saja, namun juga harus mampu berhubungan secara baik
dengan orang lain, dan itu tak dapat dilakukannya dengan baik jika hanya
menerapkan cara dan teknik yang sekarang ini banyak diajarkan. Al
An’aam - Ayat 66:6. Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak
generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasiitu)
telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang
belum pernah Kami berikan kepadamu , dan Kami curahkan hujan yang lebat
atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka ,
kemudian . Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami
ciptakan sesudah mereka generasi yang lain.Al Jin - Ayat 672:6. Dan
bahwasanya ada beberapa orang laki-lakidi antara manusia meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu
menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. Banyak lagi ayat-ayat yang
menekankan dengan berulang kali , bahwa bumi telah dihidupkan kembali
(berulang-kali) dari matinya . Dimana matinya itu di sebabkan karena
tidak di berikannya air / hujan kepada para pendahulu generasi manusia
anak-cucu Adam AS , yang baru berumur 7000 tahun.Apapun yang dikatakan
dalam kitab-kitab suci , ilmu pengetahuan ataupun teknologi dapat
membuktikan bahwa ada sisa-sisa “manusia” yang telah berumur jutaan
tahun . Bahkan teori Darwin-pun mengalami kesulitan dalam menghubungkan
manusia purba dengan manusia masa kini (The
missing-linktheorema).KESIMPULAN• Jelaslah disini bahwa Adam AS bukanlah
merupakan hasil evolusi ataupun “keturunanmonyet” , seperti dikatakan
Darwin • Tidak ada yang bertentangan antara ilmu pengetahuan dan concept
ke-agama-an . Dan apa yang ditulis dalam kitab suci adalah
sebenar-benarnya kenyataan dalam angka-angka yang akurat dan pasti. •
Pada saat manusia akan diciptakan Allah SWT untuk menjadi kalifah
dibumi,bagaimana para Malaikat mungkin mengetahui bahwa manusia hanya
akan membuat kerusakan diatas bumi . Sedangkan Malaikat hanya mengetahui
apa-apa yangdiberitahukan Allah SWT kepada mereka . Tentunya karena
memang mereka pernah mengetahui adanya “manusia” dibumi sebelum Adam AS
diciptakan .• Oleh sebab itu Allah SWT selalu menyatakan bahwa :
“Manusia (anak-cucuAdam AS ) diciptakan dalam kesempurnaan-nya” . Dalam
Injil dikatakan bahwa “Man was created upon the image of God).. Serta
banyak kalimat pada Taurat (Perjanjian Lama) yang membedakan antara
“anak manusia” dan “anak Allah” , “adanya manusia-manusia yang besar
pada saat itu” , bagaimana takutnya anak-anak Adam yang keluar dari
surga dengan adanya ancaman / gangguan diluar.Semoga tulisan yang kami
ambil dari berbagai sumber ini dapat penjadikan pencerahan kita semua,
terutama bagi mereka yang masih meragukan Islam. sertapimpinan negeri
tercinta ini, semoga Allah dapat segera membebaskan negei kita tercnta
ini dari bencana yang silih berganti. Bercerminlah pada hati nurani anda
masing-maing, asahlah dengan kepekaan batinagar hati kita ini semakin
tajam menangkap setiap isyarat yang diberikan AllahSWT. Semoga, dan
semoga kita secepatnya bertaobat, sebelum nafas kita hinggap dialam yang
lebih kekal dan abadi.Sudah amanahkah kita setiap melakukan suatu
pekerjaan ?. Keberanian adalah kuncikeberhasilan untuk meraih tujuan.
Dalam meraih tujuan dahulukan caranya untukmeraih, tetapi jangan
terpikir akan hasilnya.Karena hasil akan paralel dengan caradan usaha
kita untuk meraihnya.Wassalam, wr wbKoko alumni PPS UHAMKA angkatan XI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar