PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN DAERAH DALAM ERA OTONOMI DAERAH
Oleh:
Kelompok 3
I. Latar Belakang
Dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah, maka setiap Pemerintah Kabupaten/ Kota
sebagai daerah otonom dituntut untuk dapat mengembangkan dan
mengoptimalkan semua potensi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Pada hakekatnya otonomi daerah adalah kewenangan
daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang undangan. Dalam hal ini kewenangan pemerintah daerah mencakup
kewenangan seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang
politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan
fiskal, agama, kebijakan perencanaan nasional dan pengendalian
pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, system
administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan
pemberdayaan sumberdaya manusia, pendayagunaan sumberdaya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
Pada
otonomi daerah, bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah
kabupaten/kota meliputi bidang : pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan
dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan,
penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga
kerja.
Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara
proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan
keuangan pemerintah pusat dan daerah. Sumber pembiayaan pemerintah
daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah
dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan
dan sumber dana lain (pinjaman/ bantuan LN).
Dengan kewenangan
yang ada sesuai dengan UU No 22 tahun 1999, maka Pemerintah Daerah
mempunyai kewajiban untuk meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat serta
menjaga dan memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
Pemberlakuan
otonomi daerah mempunyai suatu konsekuensi bahwa, diperlukan kesiapan
sumber daya manusia serta perangkat-perangkat lainnya untuk melaksanakan
pemerintahan. Kesiapan sumberdaya manusia yang melaksanakan sebagian
kewenangan dari pemerintah pusat memerlukan suatu tingkat pendidikan,
keterampilan dan wawasan. Perlu disadari bahwa, kemampuan sumberdaya
manusia yang ada di tingkat Kabupaten/Kota masih perlu ditingkatkan
untuk mengoptimalkan kinerja pemerintahan kabupaten/kota.
BAB II LANDASAN TEORITIS
II. 1. Pemahaman Dasar Terhadap Otonomi Daerah
Otonomi
mempunyai arti pemerintah sendiri (Amrah M, 1986) - dimana auto
berarti sendiri dan nomes berarti pemerintahan. Lebih spesifik lagi
Bagir Manan (1994) mengemukakan bahwa otonomi mengandung arti
‘’kemandirian’’ untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya
sendiri – dimana beliau mendefinisikan sebagai ‘’ Kebebasan dan
kemandirian satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus
sebagian urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang boleh diatur
dan diurus secara bebas dan mandiri itu menjadi atau merupakan urusan
rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah tersebut. Kebebasan
dan kemandirian merupakan hakekat isi otonomi’’. Perlu ditekankan
kembali disini bahwa arti kebebasan dan kemandirian disini adalah dalam
arti ikatan kesatuan yang lebih besar.
Pada dasarnya
penyelenggaraan azas desentralisasi akan menghasilkan ‘’daerah otonomi’’
- sedangkan urusan yang diserahkan kepada daerah otonom yang menjadi
hak atau kewenangannya di sebut ‘’ otonomi daerah’’ atau otonomi saja ( A
Mustari Pide, 1999).
II. 2. Otonomi dan Pembangunan Daerah.
Akhir-akhir
ini “otonomi dan pembangunan daerah” sangat menarik untuk diamati dan
dibahas secara ilmiah. Pada dasarnya konsep otonomi lebih merupakan
dampak dari pertumbuhan ekonomi (Laode Ida, 2000) dibanding dengan
tuntutan demokrasi masyarakat. Industrialisasi di Negara Inggris pada
awal abad ke- 19 merupakan tonggak sejarah dari awal berkembangnya
“pemerintahan daerah otonom”. Pesatnya pertumbuhan industri ternyata
memberikan dampak negative yang cukup besar terhadap masalah social,
ekonomi dan politik. Hal tersebut menuntut agar pemerintah daerah atau
kota untuk segera tanggap dalam mengatasi masalah-masalah diwilayah
kerjanya.
Indonesia selama ini dikenal dengan system pemerintahan
yang “sentralistis” – dimana peranan Pemerintah Pusat sangat dominan
dalam memberikan arahan atau sentuhan pembangunan. Disatu sisi, yakni
pada tingkat perkembangan tertentu – system sentralistis mempunyai
keunggulan tersendiri. Namun dengan semakin berkembangnya jumlah
penduduk, meningkatnya tuntutan masyarakat, dan semakin kompleksnya
permasalahan social-ekonomi & politik yang dihadapi kiranya system
sentralistis dirasakan tidak lagi cukup efektif pelaksanaannya.
Dengan
semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi, kecepatan pengambilan
keputusan menjadi suatu kebutuhan – untuk itulah peningkatan peran
pemerintah daerah menjadi sangat penting. Alangkah tidak efektifnya
bila masalah-masalah yang segera harus ditangani menunggu keputusan atau
arahan dari Pemerintah Pusat dengan mata rantai birokrasi yang demikian
panjang.
Uraian di atas menunjukkan adanya pergeseran paradigma
dari sentralisasi menjadi desentralisasi dan ini bukanlah merupakan
proses yang sederhana. Di Indonesia proses tersebut dikenal dengan
istilah “reformasi total”. Diawali dengan adanya krisis ekonomi dan
kepercayaan telah membuka jalan bagi munculnya reformasi total di
seluruh aspek kehidupan bangsa yang ditujukan untuk mewujudkaan
masyarakat madani, terciptanya good governance, serta mengembangkan
pendekatan pembangunan yang berkeadilan. Disamping itu juga memunculkan
sikap keterbukaan dan fleksibilitas system politik dan kelembagaan
social, sehingga mempermudah proses pengembangan dan modernisasi
lingkungan legal dan regulasi untuk pembaharuan paradigma di berbagai
bidang kehidupan ( Mardiasmo, 2002).
Perwujudan dari reformasi
tersebut dituangkan dalam bentuk pemberian otonomi kepada daerah
kabupaten dan kota. Pada dasarnya, desentralisasi bukanlah merupakan
system yang berdiri sendiri akan tetapi merupakan rangkaian kesatuan
dari suatu system yang lebih besar ( Koswara, 2001). Jadi desentralisasi
tidaklah didikotomikan dengan sentralisasi namun merupakan sub-sub
system dalam kerangka system organisasi Negara. Terjemahan
operasionalnya dapat dilihat dalam bentuk proporsi peranan Pemerintah
Pusat dan pemerintah daerah.
Bila peranan Pemerintah Pusat lebih
besar atau sentralistis akan menimbulkan dampak terhadap rendahnya
kapabilitas dan efektivitas dari pemerintah daerah dalam melaksanakan
dan mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi. Namun disisi
lain ada beberapa alasan yang dijadikan sebagai dasar berpijak untuk
dilaksanakannya sentralisasi, yakni: pertama, adalah karena alasan
untuk menjamin stabilitas nasional dan kedua, adalah karena alasan
sumberdaya manusia di daerah dipandang kurang atau belum mampu.
Bila
peranan pemerintah daerah lebih besar diharapkan proses demokrasi
dapat berjalan sebagaimana mestinya sehingga dapat meningkatkan “rasa
memiliki” dari masyarakat nya. Sense of belonging ini mempunyai arti
yang sangat penting karena akan dapat lebih mempercepat proses
pertumbuhan dan perkembangan daerahnya – namun masalahnya sekarang
adalah sampai seberapa jauh pemerintah daerah saat ini telah siap
menerima pelimpahan wewenang yang cukup berat ini.
Pada tahun
1999 telah dikeluarkannya Undang-Undang No 22 tentang Pemerintahan
Daerah dimana merupakan landasan yuridis bagi pengembangan otonomi
daerah di Indonesia. Ada beberapa persyaratan yang diamanatkan dalam
undang-undang tersebut , yakni pengembangan otonomi pada daerah
kabupaten dan kota diselenggarakan dengan memperhatikan: (1).
Prinsip-prinsip demokrasi, (2). Peran serta masyarakat, (3). Pemertaan,
(4). Keadilan, (5). Serta memperhatikan potensi dan keaneka-ragaman
daerah. Disamping itu ada beberapa persyaratan lainnya, yakni:
dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggung jawab secara proporsional.
Pada hakekatnya uraian di
atas dapat diartikan sebagai suatu bentuk pelimpahan tanggung jawab
yang diikuti oleh pengaturan pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya
nasional yang berkeadilan serta mengikuti prinsip perimbangan keuangan
pusat dan daerah. Dengan melalui undang-undang no 22 ini pemerintah
daerah kabupaten dan kota diberi kewenangan yang utuh dan bulat untuk
(1). Merencanakan, (2). Melaksanakan, (3). Mengawasi, (4).
Mengendalikan, (5). Dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan daerah. Fungsi
dan peran yang diberikan ini pada hekekatnya akan merubah paradigma
pelaksanaan kepemerintahan dari “control dan command” menjadi
berorientasi pada “tuntutan dan kebutuhan publik” - dan pada akhirnya
peran pemerintah akan menjadi: stimulator; fasilitator; koordinator dan
entrepreneur dalam proses pembangunan.
II.3. Arah Pengembangan Manajemen Pembangunan.
Pada
dasarnya pemberian otonomi daerah akan mengubah perilaku pemerintah
daerah untuk lebih efisien dan professional. Dalam hal ini perubahan
merupakan kata kunci bila eksistensi pemerintah daerah masih ingin dapat
dipertahankan. Perubahan lingkungan strategis akan lebih bergejolak
dengan berbagai ketidak pastian. Pengaruh globalisasi yang sarat dengan
persaingan akan mewarnai dinamika perubahan birokrasi – untuk itu para
birokrat dituntut untuk lebih tanggap. Masalahnya akan menjadi semakin
kompleks karena masyarakatnya semakin cerdas (knowledge based society)
dan tuntutannya semakin banyak (demanding community).
Dengan
adanya otonomi daerah serta terjadinya perubahan lingkungan global
menyebabkan munculnya era baru dalam sistem manajemen pembangunan.
Perubahan yang mendasar dirasakan pada saat ini adalah adanya upaya
untuk mendorong pemberdayaan masyarakat , pengembangan prakarsa dan
kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat , serta pengembangan
peran dan fungsi DPRD – momentum ini hendaknya dapat dimanfaatkan
sebaik-baiknya oleh pemerintah daerah untuk mengoptimalkan pembangunan
daerahnya.
Perubahan yang diharapkan lebih mengarah kepada
pembenahan manajemen sektor publik yang cukup drastis – dimana awalnya
dicirikan oleh system manajemen ‘’tradisional’’ yang mempunyai
karakteristik: kaku, birokratis, dan hierarkhis menjadi sistem manajemen
sektor publik yang fleksibel, dan lebih akomodatif terhadap pasar.
Dominasi pelaku pembangunan tidak saja oleh pemerintah namun telah
bergeser melibatkan pihak terkait (stakeholder) lainnya, yakni:
masyarakat dan swasta. Kedua stakeholder inilah yang sebenarnya sangat
berperan dalam mewujudkan pembangunan yakni sekitar 70% - 80%. Sedangkan
pemerintah hanya berperan sekitar 20% - 30% dan umumnya dalam bentuk
penyediaan fasilitas umum; sarana; prasarana; dan utilitas lainnya.
Pengembangan
manajemen pembangunan yang diharapkan kiranya mempunyai karakteristik
yang berfokus pada tiga hal pokok yakni: (1). Manajemen, (2). Penilaian
kinerja, (3). Dan efisiensi - bukan berorientasi lagi pada kebijakan
(Osborne & Gaebler, 1992). Hal tersebut dalam sisi praktisnya akan
menimbulkan beberapa konsekwensi sebagai berikut : pertama, adalah
tuntutan untuk melakukan efisiensi. Kedua, adalah meningkatkan
kompetisi. Pembenahan terhadap aspek manajerial tersebut akan
berimplikasi terhadap perubahan manejerial terutama sekali menyangkut
perubahan personnel dan struktur organisasi.
Bila ditelaah secara
lebih mendasar, kiranya dapat terlihat bahwa idea dasar dari pembenahan
manajemen pembangunan dipicu oleh merosotnya kepercayaan masyarakat
terhadap birokrasi pemerintahan – dimana dicirikan atau dikenal sangat
birokratis. Dalam hal ini birokrasi dianggap sebagai penyebab
inefisiensi dan penghambat pembangunan dan bukan sebagai fasilitator
pembangunan. Ini merupakan ciri atau tanda dari kegagalan birokrasi itu
sendiri – karena tujuan birokrasi pada awalnya adalah untuk menciptakan
efisiensi organisasi dan memfasilitasi pembangunan.
II.4. Pembangunan Yang Berkelanjutan
Pada
hakekatnya pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk
memenuhi kebutuhan saat kini tanpa mengurangi atau menghancurkan
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Untuk itu
pembangunan berkelanjutan dapat diartikan sebagai pembangunan yang tidak
menghancurkan suatu wilayah. Didalam melakukan kegiatan sosial maupun
ekonomi pada umumnya akan terjadi proses pemanfaatan sumberdaya alam.
Kegiatan sosial-ekonomi inilah yang berkembang secara eksponensial
sedangkan sumberdaya alam yang ada dibatasi dengan berbagai
keterbatasan.
Ada berbagai suplai yang diberikan alam kepada
manusia, yakni diantaranya adalah sumberdaya ; life support ; dan ruang.
Namun disisi lain manusia mengembalikannya dalam bentuk : waste ;
over exploitation of resources ; physical degradasi ; landscape
modification. Hubungan antara manusia dan lingkungannya berada dalam
suatu proses mencari keseimbangan - dimana bila kapasitas daya dukung
lingkungan masih berada jauh di atas kegiatan sosial-ekonomi yang ada,
maka secara alamiah lingkungan masih mempunyai kemampuan untuk
melakukan proses netralisasi (Clapham, 1973). Dampak yang terjadi akan
menjadi lain apabila kegiatan sosial-ekonomi yang ada berada jauh di
atas daya dukung lingkungannya.
Terdapat beberapa alasan terjadinya kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam yakni (Dahuri, 2003) :
·
· Terus meningkatnya permintaan akan sumberdaya alam dan
jasa lingkungan sebagai akibat pertumbuhan penduduk dan peningkatan
kualitas hidup manusia.
· · Terjadinya praktek-praktek pengelolaan yang tidak mengikuti prinsip pembangunan berkelanjutan.
· · Ketidak tahuan manusia akan akibat kerusakan lingkungan
· · Keterpaksaan karena kemiskinan absolut dan tidak ada alternatif lain untuk mencari nafkah
· · Keserakahan
· · Kegagalan pasar dan hak kepemilikan
· · Kegagalan kebijakan
· · Kegagalan informasi
II. 5. Pembangunan Partisipatif
Sejak
bergulirnya reformasi di Negara kita, telah terjadi berbagai perubahan
dan tuntutan dari berbagai pihak sebagai wujud dari proses pelaksanaan
demokrasi, hal ini ditandai dengan tuntutan dari masyarakat untuk
terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance). Karena tuntutan
itulah maka disetiap tingkatan pemerintahan baik di Pusat, Propinsi,
Kabupaten/Kota sampai Kelurahan/Desa terjadi berbagai upaya dan tindakan
untuk menuju proses tersebut. Dengan demikian setiap Pemerintah Daerah
telah berupaya secara serius untuk melaksanakan demokratisasi apalagi
dengan nuansa otonomi daerah yang menuntut setiap daerah untuk bersaing
dalam mendayagunakan potensi yang dimilikinya.
Untuk mendapatkan
dukungan dan partisipasi yang kuat dari masyarakat terhadap pembangunan
daerah, maka masyarakat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan
termasuk pada tahapan perencanaan pembangunan diberbagai tingkatan.
Dengan demikian diharapkan akan timbul suatu rasa memiliki dan rasa
tanggungjawab bersama seluruh masyarakat terhadap pembangunan di
daerahnya. Pembangunan yang mendapatkan dukungan dan partisipasi yang
kuat dari masyarakat dapat kita sebut pembangunan partisipatif.
Dalam
aplikasinya, pembangunan partisipatif seringkali diidentikan sebagai
pemberdayaan masyarakat. Salah satu prinsip penting dalam pemberdayaan
masyarakat adalah adanya keharusan untuk membiarkan struktur-struktur
dan proses-proses untuk membangun itu secara organic berasal dari
komunitas itu sendiri. Hal ini sama dengan prinsip keanekaragaman dalam
ekologi, sehingga segala sesuatu dilaksanakan secara berbeda pada
komunitas yang berbeda-beda tergantung kepada budaya local yang dianut,
ekonomi, sosial dan faktor-faktor politik ( Ife, J.W, 1946).
A. Arti Perencanaan Partisipatif
Undang-undang
No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan arahan tentang
bagaimana pembangunan dikelola oleh semua unsur yaitu pemerintah dan
masyarakat sebagai mitra sejajar. Perubahan paradigma ini perlu kesiapan
dari semua pihak. Pemerintah disatu sisi harus merelakan sebagian
kewenangannya untuk dikelola oleh masyarakat mulai dari perencanaan,
pelaksanaan dan pengelolaannya serta evaluasinya. Sebagai konsesi dari
penyerahan sebagian kewenangan tersebut, masyarakat harus menyiapkan
diri untuk terlibat pada peran baru tersebut tidak saja dari segi teknis
tetapi juga dari segi pemahaman tentang arah dan kebijakan pembangunan
yang disepakati.
Pola perencanaan daerah yang berjalan saat ini telah
ditentukan dalam sistem perundang-undangan seperti P5D (Pedoman
Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian di Daerah) dan Kepmendagri No.
29 Tahun 2002, yang mana mengatur tentang perlunya melakukan penjaringan
aspirasi masyarakat untuk memberi kesempatan kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dan terlibat dalam proses penganggaran daerah dalam
penyusunan konsep arah dan kebijakan umum APBD. Partisipasi mengandung
pengertian lebih dari sekedar peran serta. Partisipasi memiliki peran
yang lebih aktif dan mengandung unsur kesetaraan dan kedaulatan dari
para pelaku partisipasi. Sedangkan peran serta bisa diartikan sebagai
pelengkap dan tidak harus ada kesetaraan.
B. Sepuluh Prinsip Dasar Partisipasi
Ajakan berpartisipasi disosialisasikan.
Tujuan dari partisipasi senantiasa diuraikan sejelas mungkin pada tahap awal.
Akses
terhadap seluruh dokumen dan berbagai informasi terkait yang menjadi
agenda pembahasan dan pengelolaan pembangunan harus terbuka secara
transparan.
Semua fihak mempunyai fungsi sebagai pengambil keputusan.
Setiap
fihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan pembangunan harus
memiliki hak yang seimbang untuk menyalurkan aspirasinya pada tingkatan
proses pengambilan keputusan.
Setiap aspirasi harus diperhatikan tanpa adanya diskriminasi terhadap sumber aspirasi tersebut.
Pendanaan yang memadai untuk sebuah proses partisipasi harus disepakati bersama, disediakan dan dipublikasikan.
Diperlukan fasilitator yang profesional dalam proses pengambilan keputusan.
Kesepakatan akhir dari kebijakan yang dihasilkan harus dapat dipahami berikut alasannya.
10. Proses partisipasi dalam penentuan kebijakan harus dievaluasi secara berkala.
C. C. Lima Prinsip Dasar Pembangunan Berbasis Masyarakat
Menurut
Rubin (1993) dalam Hidayat dan Syamsul Bahri (2001), secara konseptual,
sedikitnya ada lima prinsip dasar dan konsep pembangunan berbasis
masyarakat (community based development – CBD). Kelima Prinsip dasar
tersebut yaitu:
1). Untuk mempertahankan eksistensinya, CBD memerlukan break-even dalam setiap kegiatan yang dikelola.
2). Konsep CBD selalu melibatkan partisipasi masyarakat baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan program.
3). Dalam melaksanakan CBD, antara kegiatan pelatihan dan pembangunan fisik merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
4).
Dalam mengimplementasikan CBD harus dapat memaksimalkan sumberdaya
(resources), khususnya dalam hal dana, baik yang berasal dari
pemerintah, swasta, maupun sumber-sumber lainnya, seperti dana dari
sponsor pembangunan social.
5). Organisasi CBD harus lebih
memfungsikan diri sebagai “katalis” yang menghubungkan antara
kepentingan pemerintah yang bersifat makro, dan kepentingan masyarakat
yang lebih bersifat mikro.
BAB III IMPLIKASI OTONOMI TERHADAP PEMBANGUNAN DAERAH
Dengan
diaplikasikannya Undang-undang 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
dan Undang-undang 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah, saat ini Indonesia sedang mengalami masa transisi – dimana
pembenahan struktur organisasi dan capacity building menjadi salah satu
prioritas utamanya. Dalam masa transisi inilah banyak berbagai
permasalahan yang timbul – terutama sekali berkenaan dengan
persepsi/pemahaman yang belum sama terhadap otonomi dan pembangunan
daerah.
Ada tiga hal pokok yang perlu mendapatkan perhatian
sehubungan dengan masa transisi tersebut, yakni : (1). Pemanfaatan
sumberdaya alam, (2). Pengembangan sumberdaya manusia, (3). Pengembangan
kelembagaan dan partisipasi masyarakat.
III.1. Implikasi Terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Alam
Penerapan
otonomi mempunyai dampak yang sangat nyata terhadap pemanfaatan
sumberdaya alam – terutama sekali berkaitan dengan upaya meningkatkan
‘’ pendapatan asli daerah ‘’ sebagai refleksi dari pada kurang fahamnya
terhadap otonomi daerah. Tanggung jawab atau beban yang diberikan
kepada pemerintah daerah baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota
dirasakan cukup berat - dalam arti membiayai kebutuhan rumah tangganya.
Secara
normatif, peningkatan pendapatan daerah mempunyai hubungan yang sangat
erat dengan pertumbuhan ekonomi daerahnya – sehingga ‘’revenue’’ yang
diperoleh sebagian dapat dimanfaatkan sebagai ‘’pendapatan’’ yang dapat
dimanfaatkan untuk operasionalisasi pembangunan daerah dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun pada kenyataannya tidak
semua pemerintah daerah telah siap dengan dukungan kegiatan
ekonominya, sehingga upaya yang dilakukan adalah langsung memanfaatkan
sumberdaya alam yang dimilikinya. Pada umumnya ‘’kegiatan ekstraktif’’
yang dilakukan adalah dalam rangka mendapatkan atau meningkatkan
‘’pendapatan asli daerah’’.
Dalam hal ini kiranya perlu
disampaikan bahwa ‘’sumberdaya alam’’ memilikii berbagai keterbatasan –
dimana tidak semua kegiatan soial-ekonomi dapat didukung oleh sumberdaya
alam tersebut. Semakin cepat pertumbuhan ekonomii akan semakin banyak
sumberdaya yang diperlukan dalam proses produksi yang pada gilirannya
akan mengurangi ketersedian sumberdaya alam yang ada. Hubungan yang
terjadi dapat dipandang sebagai ‘’negative correlation’’ antara
pertumbuhan ekonomi dengan tersedianya sumberdaya alam ( Suparmoko,
1989).
Upaya untuk memacu percepatan peningkatan ‘’pendapatan
asli daerah’’ – disatu sisi akan menjadi tekanan/presure yang sangat
berat terhadap lingkungan. Sebagai contoh : kabupaten Karimun, dalam
tahun anggaran 2002 telah menetapkan 70% dari pendapatan daerahnya yang
berasal dari penambangan ‘’pasir laut’’. Dampak negatif yang terjadi
adalah sangat luas, yakni diantaranya : meningkatnya pengikisan pantai
di pulau-pulau kecil ; rusaknya terumbu karang dan mangrove ;
meningkatkan kekeruhan air laut sehingga kehidupan biotanya sangat
terganggu. Bebarapa pemerintah Propinsi dan Kabupaten melakukan
eksploitasi hutan dengan mengakibatkan dampak kerusakan lingkungan.
Dengan
ditambangnya pasir laut, jelas terjadi peningkatan pendapatan asli
daerah – namun bila dilihat dalam konteks yang lebih luas kabupaten
Karimun harus mengkompensasi biaya lingkungan (environmental cost) dan
biaya sosial (social cost) untuk dapat menjamin keberlanjutan
pembangunnya. Setiap pilihan pembangunan akan memiliki keuntungan dan
kerugiannya. Pada umumnya phenomena yang terjadi pada masa transisi ini
pilihan pembangunan lebih ditekankan pada upaya percepatan peningkatan
pendapatan asli daerah yang berasal dari sumberdaya alamnya dan bukan
dari pertumbuhan dan perkembangan kegiatan produksinya.
Uraian di
atas menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang selama ini digunakan
tidaklah menjamin akan terjadinya pembangunan yang berkelanjutan –
environment cost dan social cost belum diperhitungkan. Bahkan mungkin,
bila diperhitungkan akan menghasilakn pertumbuhan ekonomi daerah yang
negative. Phenomena ini menunjukkan adanya suatu gejala untuk
mengalihkan ‘’ environment burden’’ untuk generasi yang akan datang.
Sebenarnya masih terdapat pilihan pembangunan ekonomi yang lain dimana
tidak ditekankan pada kegiatan ekstraktif akan tetapi pada upaya
mendorong kegiatan produksi atau pengembangan jasa (seperti misalnya
perdaganagan, jasa pelayanan , perbankan, dsb) Namun pilihan pembangunan
ini membutuhkan waktu akan tetapi aman dari sisi lingkungan dimasa yang
akan datang.
Upaya untuk memanfaatkan sumberdaya yang
bijak kiranya merupakan suatu tantangan dalam menerapkan otonomi daerah.
Ketidak tepatan dalam mengambil pilihan pembangunan akan berdampak
fatal terhadap generasi mendatang. Untuk itu – kapasitas daya dukung
lahan dan ruang merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan
dalam mengarahkan pemanfaatan sumberdaya alamnya. Terdapat hubungan yang
erat antara kegiatan sosio-ekonomi dengan geographic environmentnya.
Sekali terlampauinya kapasitas daya dukung geographic environmentnya –
dalam banyak hal akan mengakibaktan menurunnya produktivitas kegiatan
ekonomi daerah/regionalnya.
III.2. Implikasi Terhadap Sumberdaya Manusia
A. A. Kondisi Sumber Daya Manusia Indonesia dan Kaitannya dengan Pendidikan
Dalam
menghadapi era otonomi daerah peningkatan mutu pendidikan adalah
tantangan penting. Pemeringkatan internasional menunjukkan bahwa
kualitas sumberdaya manusia Indonesia berdaya saing rendah secara
global, sehingga perlu memperoleh perhatian yang seksama.
Upaya untuk
meningkatkan mutu Pendidikan di Indonesia sebenarnya telah dilakukan
sejak tahun 1969 dalam Pelita I (Suderajat, 2000). Dalam GBHN dan
REPELITA selanjutnya selalu tercantum bahwa peningkatan mutu pendidikan
merupakan salah satu prioritas pembangunan di bidang pendidikan.
Berbagai inovasi dan program pendidikan yang telah dilaksanakan adalah
penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku ajar, peningkatan mutu guru
melalui berbagai pelatihan, peningkatan manajemen pendidikan, serta
pengadaan alat peraga dan fasilitas lainnya. Namun berbagai indikator
menunjukkan bahwa mutu pendidikan belum meningkat secara nyata.
Dari
dalam negeri diketahui bahwa Nilai Ebtanas Murni (NEM) SD sampai SLTA
masih relatif rendah dan tidak mengalami peningkatan yang berarti. .
Menurut Blazely dkk (1997, dalam Depdiknas, 2001) pembelajaran di
sekolah cenderung teoritik dan tidak terkait dengan lingkungan dimana
anak berada. Akibatnya peserta didik tidak mampu menerapkan obyek yang
dipelajari di sekolah guna memecahkan masalah yang dihadapi dalam
kehidupan keseharian. Pendidikan seakan mencabut anak didik dari
lingkungannya sehingga menjadi asing di masyarakatnya sendiri.
Dari
dunia usaha muncul keluhan bahwa lulusan yang memasuki dunia kerja belum
memiliki kesiapan kerja yang baik. Ketidakpuasan berjenjang juga
terjadi. Kalangan SLTP merasa bekal lulusan SD kurang baik untuk
memasuki SLTP, kalangan SLTA merasa bekal lulusan SLTP tidak siap
mengikuti pembelajaran SLTA, dan kalangan Perguruan Tinggi merasa bekal
lulusan SLTA belum cukup untuk mengikuti perkuliahan ( Depdiknas,
2001).
Krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia juga turut
memperparah kondisi pendidikan . Hal ini ditunjukkan dengan ketidak
mampuan orang tua menyekolahkan anaknya sehingga diperkirakan 6 juta
siswa di Jawa Tengah tidak dapat melanjutkan sekolah (Suryanto, 2003).
Sedangkan Edi (2003) mengungkapkan di Indonesia 6 juta anak tidak
mengenyam pendidikan dan 18,5 juta penduduk dalam kategori buta huruf.
Kenyataan lain yang memprihatinkan adalah hanya 12 % dari lulusan SMU
yang mampu melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi (Depdiknas, 2001).
Ada suatu gejala di pedesaan yaitu lulusan SLTP dan SLTA memiliki
keengganan untuk membantu orang tua yang bekerja sebagai petani dan
pedagang di pasar yang disebabkan perasaan malu. Fenomena ini dapat
menimbulkan masalah pengangguran dan dampak-dampak sosial lainnya.
Menurut
Biro Pusat Statistik (1997, dalam Suryadi, 2001) jumlah pengangguran
lulusan setiap jenjang pendidikan meningkat 4 juta orang pada tahun 1997
dan menjadi 6 juta orang pada tahun 2001. Jumlah pengangguran lulusan
sekolah menengah terus meningkat dari 2.1 juta pada tahun 1997 menjadi
2.5 juta orang pada tahun 2000. Peningkatan jumlah pengangguran juga
terjadi pada jenjang perguruan tinggi. Sekitar 250 ribu pengangguran
lulusan sarjana, 120 ribu lulusan Diploma III, dan 60 ribu lulusan
Diploma I dan II. Pada tahun 2002 angka pengangguran di Indonesia
mencapai 40 juta orang.
Dari komparasi Internasional,
menunjukkan bahwa mutu pendidikan Indonesia kurang menggembirakan.
Human Development Index (HDI) menyatakan Indonesia menduduki peringkat
102 dari 106 negara yang disurvey dan satu peringkat di bawah Vietnam.
Survey the Political Economic Risk Consultation (PERC) melaporkan
Indonesia berada di peringkat 12 dari 12 negara yang disurvey, juga satu
peringkat di bawah Vietnam. Hasil studi the Third International
Mathematics and Science Study Repeat (TIMSS-R, 1999) melaporkan siswa
SLTP Indonesia menempati peringkat 32 untuk IPA dan 34 untuk Matematika,
dari 38 negara yang distudi di Asia, Australia, dan Afrika (Depdiknas,
2001).
Hasil penilaian HDI, TIMSSR, PERC, serta fenomena yang
ditemukan di tanah air menunjukkan upaya peningkatan mutu pendidikan
yang selama ini dilakukan belum mampu memecahkan masalah mendasar
pendidikan di Indonesia. Menghadapi fenomena ini sudah selayaknya
Pemerintah mengambil langkah-langkah kongkrit yang mudah dilaksanakan
dengan dana yang efisien dan berhasil guna, terutama dalam menghadapi
siswa yang putus sekolah baik dari lulusan SD, SMP, SMU.
Persoalan
lain adalah pada tahun 2003 dimulainya AFTA (Asean Free Trade Area) dan
AFLA (Asean Free Labour Area) yang menyebabkan persaingan tenaga kerja
semakin terbuka. Sumberdaya manusia harus mampu bersaing dengan tenaga
kerja asing yang dating ke Indonesia.
B. B. Otonomi Daerah dan Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kebijakan
Pemerintah yang dituangkan dalam UU No.22 tahun 1999 dan PP No.25 tahun
2000 menyebutkan bahwa sebaiknya kabupaten/kota yang secara operasional
menangani pendidikan dasar dan menengah. Oleh karena itu
program-program tersebut seyogyanya ditangani oleh kabupaten/kota,
sementara peran Pemerintah Pusat lebih banyak sebagai inisiator dan
pendamping. Terbitnya Undang-undang Otonomi Daerah merupakan momen yang
tepat untuk membenahi kurikulum pendidikan di Indonesia.
Kebijakan
pemerintah membuka peluang untuk mengembangkan daerah sesuai dengan
potensi yang ada. Dalam rangka membangun daerah telah dibuat Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK). Kurikulum ini menitikberatkan pada kecakapan
hidup (life skill) yang bertujuan untuk:
1. Mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi.
2.
Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan
pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis
luas (broad base education).
3. Mengoptimalkan pemanfaatan
sumberdaya di lingkungan sekolah dengan memberi peluang pemanfaatan
sumberdaya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen
berbasis sekolah (School Based Management)
Bertolak dari
perubahan paradigma pendidikan yang menekankan pada kecakapan hidup
diharapkan lulusan suatu jenjang pendidikan memiliki kompetensi dasar
yaitu kemampuan yang secara umum harus dikuasai lulusan. Kompetensi
lulusan merupakan modal utama untuk bersaing di tingkat global (Gafur,
2002).
Kecakapan hidup dapat dipilah menjadi 5 (lima), yaitu:
1. Kecakapan mengenal diri (Self Awardness) yang juga sering disebut kemampuan personal (Personal Skill)..
2. Kecakapan berpikir rasional (Thingking Skill)
3. Kecakapan sosial (Social Skill)
4. Kecakapan akademik (Academic Skill)
5. Kecakapan Vokasional (Vovational Skill)
Kelima
kecakapan tersebut tidak berfungsi secara terpisah, tetapi setiap
sumberdaya manusia memiliki derajat kualitas yang berbeda-beda dan
sangat dipengaruhi oleh aspek fisik, mental, emosional, dan intelektual
Bertolak
dari perubahan paradigma pendidikan yang menekankan pada kecakapan
hidup, maka masalah putus sekolah pada murid SD, SLTP, dan SMU dapat
diantisipasi dengan memberikan pembekalan untuk kehidupaannya.
III.3. Implikasi Terhadap Pemberdayaan Masyarakat
Proses
perencanaan dan pengambilan keputusan dalam program pembangunan
kerapkali dilakukan dari atas ke bawah (top-down). Rencana program
pengembangan masyarakat biasanya dibuat di tingkat pusat (atas) dan
dilaksanakan oleh Instansi Propinsi dan Kabupaten. Masyarakat sering
kali diikutkan tanpa diberikan pilihan dan kesempatan untuk memberi
masukan atau berperan. Hal ini biasanya disebabkan adanya anggapan untuk
mencapai efisiensi dalam pembangunan bagi masyarakat serta masyarakat
tidak mempunyai kemampuan sendiri untuk menganalisa kondisi dan
merumuskan persoalan serta kebutuhan-kebutuhannya. Dalam visi ini
masyarakat ditempatkan pada posisi yang membutuhkan bantuan dari luar.
Program yang dilakukan dengan pendekatan dari atas ke bawah sering tidak
berhasil dan kurang memberi manfaat kepada masyarakat, karena
masyarakat kurang terlibat sehingga mereka merasa kurang bertanggung
jawab terhadap rencana program danpelaksanaannya.
Kata 'partisipasi'
sering sekali dipakai dalam panduan-panduan yang diterbitkan oleh
DELIVERI, dan juga di beberapa buku lain, dimana muncul beberapa
pengertian terhadap istilahnya. Dalam panduan-panduan seri ini,
pengertian terhadap 'partisipasi' adalah sebagai berikut:
Masyarakat
bebas untuk ikut kegiatan-kegiatan, dan diberikan kesempatan
seluas-luasnya untuk terlibat dan berperan serta dalam setiap tahapan,
mulai dengan analisa secara bersama, yang menuju pada rencana tindakan,
penerapannya dan pemantauannya, termasuk pengambilan keputusan disetiap
tahap
Dari kondisi ini, pendekatan dikembangkan dengan menempatkan
masyarakat sebagai pihak utama atau pusat pengembangan. Pendekatan
tersebut lebih bersifat memberdayakan masyarakat, yaitu model
'Pemberdayaan Masyarakat' (PM). Dasar proses pemberdayaan masyarakat
adalah pengalaman dan pengetahuan masyarakat tentang keberadaannya yang
sangat luas dan berguna serta kemauan mereka untuk menjadi lebih baik.
Proses ini bertitik tolak untuk memandirikan masyarakat agar dapat
meningkatkan taraf hidupnya, menggunakan dan mengakses sumber daya
setempat sebaik mungkin, baik sumber daya alam maupun sumber daya
manusia.
Perencanaan partisipatif adalah satu tahap dalam proses
pemberdayaan masyarakat, di mana proses memulai dengan tahap kajian
keadaan pedesaan secara partisipatif. Tahap perencanaan partisipatif
melanjutkan dari informasi yang dikumpulkan pada kajiannya. Perencanaan
partisipatif bermanfaat kepada masyarakat untuk mengarahkan kegiatan
atau program mereka dan juga untuk mengukur keberhasilan kegiatan atau
program tersebut (monitoring dan evaluasi). Kalau masyarakat sendiri
berpartisipasi, yaitu melaksanakan proses perencanaan partisipatif,
kegiatan selanjutnya akan dilaksanakan atas kemauan masyarakat sendiri
yang menjadi satu faktor sangat mempengaruhi dalam minat dan kesuksesan
pelaksanaannya.
Komitmen Pemerintah Daerah untuk merevitalisasi penyelenggaraan perencanaan partisipatif
Pengupayaan
Kebutuhan dan Ketermilikan Perencanaan Partisipatif melalui upaya
peningkatan dan penyadaranan masyarakat dalam penyusunan perencanaan
pembangunan daerah. Peranan yang bisa diambil seperti sosialisasi
program-program, pelatihan teknik perencanaan partisipatif.
Pengupayaan Peningkatan Transparansi di Pemerintahan Daerah.
Penyusunan
Strategi Perencanaan Partisipatif. Dalam hal ini pemerintah merumuskan
strategi penyelenggaraan perencanaan partisipatif yang dinilai paling
efektif untuk dilaksanakan dan hasilnya disampaikan agar mendapat
tanggapan dan masukan dari masyarakat.
Penyepakatan Pola Perencanaan
Pembangunan yang Partisipatif. Pemerintah Daerah menyampaikan bahwa ada
kebijakan nasional yang dijadikan rujukan dan Pemerintah Daerah berupaya
untuk menyusun kebijakan di tingkat daerah. Kegiatan tsb dalam
pelaksanaannya menggunakan serangkaian media konsultasi publik.
Pemantauan
dan Evaluasi Partisipatif. Sebagai rangkaian atau tahapan kegiatan
perencanaan partisipatif yang utuh maka Pemerintah Daerah menyampaikan
konsep pemantauan dan evaluasi dari penyelenggaraan perencanaan tsb yang
dilakukan secara partisipatif.
Pelembagaan Perencanaan Partisipatif.
Kebijakan
Pemerintah Daerah tidak sekedar wacana tetapi dapat ditunjukkan pada
masyarakat bahwa ada upaya-upaya atau proses yang sudah mulai dilakukan
dalam rangka penyelenggaraan perencanaan partisipatif tersebut.
IV. IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Undang-undang
no:22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang 25 tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah merubah
pelaksanaan mekanisme pembangunan di Indonesia. Walaupun dilandasi
dengan pemikiran yang cukup baik - namun di dalam pelaksanaannya
dituntut suatu bentuk persiapan yang comprehensive. Pelaksanaan dari
otonomi daerah mempunyai implikasi yang sangat significant terhadap
pemanfaatan sumberdaya alam di seluruh kabupaten/kota.
Dalam masa
transisi, dimana pemerintah kabupaten/kota sedang mempersiapkan diri –
banyak terjadi “pengurasan “ sumberdaya alam yang dapat dikatakan
berlebihan sehubungan dengan adanya upaya meningkatkan ‘’pendapatan
asli daerah’’. Sebenarnya, tujuan yang ingin dicapai dari otonomi
daerah adalah sangat baik - dimana ingin meningkatkan pelayanan dan
mengakomodasi keinginan masyarakat guna dapat lebih meningkatkan
kesejahteraan masyarakatnya.
Upaya untuk mengembangkan sumberdaya
manusia yang tanggap terhadap permasalahan pembangunan serta berdaya
saing tinggi merupakan suatu kebutuhan yang segera harus dipenuhi dalam
menghadapi era otonomi. Cara berpikir yang selama ini diwarnai dengan
kekakuan birokrasi kiranya perlu bergeser kepada pemikiran yang
akomodatif dan dinamis. Disamping itu stakeholder dalam pembangunan
tidak lagi didominasi oleh pemerintah namun keterlibatan masyarakat dan
swasta menjadi penting artinya. Konsekwensi logis dari phenomena di
atas kiranya menuntut adanya suatu bentuk pergeseran dari pendekatan
yang selama ini didominasi oleh pendekatan sektoral menjadi pendekatan
pembangunan yang sifatnya regional.
DAFTAR PUSTAKA
Clapham W.B, Jr (1973). Natural Ecosystems. Macmillan Publishing
Co, Inc, New York.
Ife, J.W (1996). Community Development: Creating
Community Alternatives, vision, Analysis and Practice. Longman Australia Pty Ltd.
Koswara (2001). Otonomi Daerah – Untuk Demokrasi dan
Kemandirian Rakyat. Sembrani Aksara Nusantara, Jakarta
Mardiasmo (2002). Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah.
Andi Offset, Yogyakarta.
Mubyarto (2001). Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian
Indonesia – Pasca Krisis Ekonomi. BPFE, Yogyakarta
Mustari Pide (1999). Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah
Memasuki Abad XXI. Gaya Media Pratama, Jakarta.
Rubin, J.H (1993). Understanding The Ethos of Community
Based
Development. Dalam Hidayat dan Syamsul Bahri (2001). Pemberdayaan
Ekonomi Rakyat - Sebuah Rekonstruksi Konsep Community Based Development
(CBD). PT. Pustaka Quantum. Jakarta.
· · Sitorus, S. (2003). Pengelolaan Sumberdaya Lahan. Institut
Pertanian Bogor.
Suderadjat, H. 2000. Pendidikan Berbasis Luas (BEE) yang
Berorientasi pada Kecakapan Hidup (Life Skill). CV Cipta Cekas Grafika.
Suparmoko M (1989). Ekonomi Sumberdaya Alam dan
Lingkungan. Pusat Antar Universitas – Studi Ekonomi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Suryadi, A. (2002). Pengembangan Kurikulum dan Bahan Ajar
Dalam
Era Desentralisasi Pendidikan. Semiloka Nasional Pendidikan Menengah
Umum Plus SMU Swasta yang Berorientasi pada Mutu dan Ciri Khas Tahun
2002.
Suyanto. (2003). Republika, 6 Januari
Tim Broad Based Education Departemen Pendidikan Nasional (2001).
Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) Education) Buku 1. Departemen Pendidikan Nasional.
Wibowo, H.E (2003) Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar