Jumat, 20 Desember 2013

Life Skill

PENERAPAN LIFE SKILL SEBAGAI BAGIAN DARI KEBIJAKAN DINAS PENDIDIKAN MENENGAH DAN TINGGI
Oleh KOKO
1. Latar Belakang
Salah satu pendekatan kurikulum berbasis kompetensi adalah pendekatan kebermaknaan sebagai pendekatan pembelajaran. Dalam proses belajar-mengajar, siswa diperlakukan sebagai subjek utama sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dalam mengembangkan keterampilan berbahasa siswa.
TIDAK kalah penting dalam proses pendidikan adalah kemampuan individu terhadap suatu keterampilan tertentu, atau yang disebut life skill (LS). LS merupakan salah satu faktor kemampuan dan modal dasar untuk hidup mandiri supaya tetap survive, di samping academic skill yang lebih berorientasi pada pengembangan nalar intelek dan kritis. Keduanya memang menjadi bekal utama siswa, mengingat setiap penyelenggaraan pendidikan tidak lain sebagai sarana mobilitas sosial atau investasi masa depan (human investation).
Adapun faktor LS yang berkaitan langsung dengan dunia empirik tempat anak tumbuh dan berkembang kurang diperhatikan.
Akibatnya, anak tidak memiliki motivasi untuk mengembangkan potensi lokal yang ada. Bila hal itu dibiarkan, maka lambat laun-namun pasti-ia pun akan tercerabut dari akar budaya dan khazanah tradisi. Padahal, niat awal dibangunnya sebuah institusi pendidikan ialah untuk mencetak sebanyak mungkin generasi penerus yang sanggup mengembangkan peradaban, serta memiliki nilai manfaat bagi kehidupan bersama agar menjadi lebih baik dan bermakna.
BERANGKAT dari fakta inilah gagasan untuk menguatkan LS pada kurikulum muatan lokal perlu mendapatkan perhatian masyarakat luas, terutama para praktisi dan pemerhati dunia pendidikan di Tanah Air. Paling tidak, untuk memikirkan kembali secara serius konsep muatan lokal dengan tetap memperhatikan kesesuaian antara materi pelajaran yang akan diterapkan di sekolah yang bersangkutan dengan semua potensi lokal yang ada di sekitarnya.
Dengan kata lain, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mengupayakan materi muatan lokal tersebut dirancang berdasarkan modal sosial (social capital) daerah setempat. Pada tingkat praksis memperkenalkan secara mendalam kepada siswa tentang hal-hal yang menyangkut seluk-beluk: (1) institusi lokal (local institution); (2) kearifan lokal (local wisdom); dan (3) pengetahuan lokal (local knowledge). Tujuannya adalah untuk menguatkan ikatan emosional dalam diri siswa supaya aktif terlibat membangun daerahnya sendiri.
Pemikiran di atas kian menjadi urgen manakala kita mempertimbangkan, pertama, bahwa tidak bisa dipungkiri apa yang selama ini dilakukan-lewat proyek indoktrinasi yang gencar oleh negara (sentralistik)-sekolah telah terlibat dalam upaya pemiskinan modal sosial secara besar-besaran di masyarakat, sehingga berdampak serius pada generasi muda terdidik, yakni tercerabut dari akar budaya dan tradisi lokalnya.
Kedua, dalam rangka menyukseskan program otonomi daerah sebagai langkah strategis untuk memberdayakan masyarakat lokal. Oleh karena itu, mendayagunakan seluruh aset dan potensi yang dimiliki daerah merupakan suatu keniscayaan yang bakal mengantarkan keberhasilan pembangunan daerah. Dengan demikian, lembaga pendidikan (sekolah) diharapkan dapat berpartisipasi aktif dan menjadi lokomotif bagi peningkatan akselerasi peran daerah dalam pembangunan nasional, sehingga kesenjangan antardaerah atau desa dan kota dapat diminimalisasi.
Menyangkut standar kompetensi siswa, yaitu tamatan Sekolah minimal memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup (life skill).
Menghadapi tuntutan standar kompetensi siswa, yaitu dalam rangka memberikan pengetahuan dan keterampilan untuk hidup dalam masyarakat (life skill) sebagaimana disebutkan dalam kurikulum tahun 2002, tetapi dengan jumlah jam yang disediakan minimal 42 jam, sekolah dapat menambahnya menjadi 52 jam. Dengan demikian, jumlah jam belajar setiap hari rata-rata menjadi 10 jam, kecuali hari Jumat. Terutama pada kurikulum SLTA.
Orientasi pembelajaran life skills dikembangkan melalui metode pengajaran quantum learning yaitu pengondisian proses belajar aktif hingga siswa memiliki pengetahuan dan keterampilan tertentu serta potensi bagi pengembangan keterampilan lebih lanjut.
Quantum learning adalah model pembelajaran yang hendak membekali siswa dengan target seperti itu. Melalui teknik dan metoda belajar yang bersuasana persuasif, quantum learning mempola kognisi, afektif, dan konatif peserta didik agar terlibat dalam proses belajar aktif.
…… Quantum learning ialah kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Beberapa teknik yang dikemukakan merupakan teknik meningkatkan kemampuan diri yang sudah populer dan umum digunakan. Namun, Bobbi DePorter mengembangkan teknik-teknik yang sasaran akhirnya ditujukan untuk membantu para siswa menjadi responsif dan bergairah dalam menghadapi tantangan dan perubahan realitas ……….
Dewasa ini, pendidikan di sekolah diberi peranan yang sangat dinamis. Pendidikan semakin diarahkan kepada tujuan-tujuan nasional. Sebagai salah satu diantara "industri" vital negara, pendidikan mengabdikan diri untuk menghasilkan manusia-manusia yang diperlukan bagi kemakmuran bangsa, bahkan memajukan kedudukan bangsa dan negara di dunia yang bersaing. Pernyataan-pernyataan seperti "pendidikan sebagai investasi" atau "pendidikan adalah kunci perubahan" pada dewasa ini sedang memperoleh pengakuan sebagai kebenaran di kalangan para pemimpin negara, para perancang kebijakan, dan para ahli yang menaruh minat dalam proses pembangunan.
Salah satu pendekatan untuk memposisikan peran pendidikan di sekolah adalah melihat peran sekolah untuk menolong individu, keluarga, masyarakat, dan negara dalam menjawab permasalahan yang perlu dipecahkan. Salah satu masalah yang dihadapi pada saat ini adalah adanya kenyataan bahwa tidak semua lulusan SLTP dan SMU melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Data tahun 1999/2000 menunjukkan angka sebesar 19,45 persen untuk lulusan SLTP dan sebagian besar (53,12 persen) untuk lulusan SMU (Mendiknas,2001). Kenyataan ini mengundang pemikiran yang serius, karena lulusan SLTP dan SMU pada dasarnya tidak dibekali kecakapan khusus untuk memasuki dunia kerja.
Masalah besarnya proporsi lulusan yang tidak melanjutkan sekolah merupakan realitas sosial yang perlu mendapat respon yang tepat. Sekolah perlu mengembangkan alternatif layanan program pendidikan yang mampu memberikan keterampilan untuk hidup (life skills) bagi peserta didiknya. Mereka yang karena sesuatu hal tidak dapat melanjutkan pendidikannya (sebagian besar untuk kasus lulusan SMU) perlu mendapat perhatian extra. Dalam kepentingan inilah Mendiknas (2001) mengangkat gagasan perlu adanya kebijakan pendidikan yang berbasis pada masyarakat luas dengan orientasi kecakapan untuk hidup (Broad-Based Education). Dijelaskan lebih lanjut oleh Mendiknas bahwa pendidikan yang berorientasi pada keterampilan hidup tidak mengubah sistem pendidikan, dan juga tidak untuk mereduksi pendidikan hanya sebagai latihan kerja. Pendidikan yang berorientasi pada keterampilan hidup justru memberikan kesempatan kepada setiap anak untuk meningkatkan potensinya, dan bahkan memberikan peluang pada anak untuk memperoleh bekal keahlian/keterampilan yang dapat dijadikan sebagai sumber penghidupannya.
Tulisan ini diharapkan dapat memperkaya wawasan tentang life skills dalam konteks pendidikan di sekolah, khususnya di Sekolah Menengah Tingkat Atas atau sederajat. Gagasan yang dikembangkan dalam tulisan ini, yaitu peningkatan mutu SLTA berwawasan khusus dalam konteks implementasi life skills, diharapkan dapat memberikan alternatif solusi dalam menangani lulusan SLTA atau sederajat yang tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
2. Kajian Literatur dan Pembahasan
2.1. Konsep Life Skills dalam Pendidikan Sekolah.
Konsep life skills di sekolah merupakan wacana pengembangan kurikulum yang telah lama menjadi perhatian para pakar kurikulum (Tyler 1949; Taba,1962; Saylor, et.al.; 1983; Print,1993). Life Skills merupakan salah satu fokus analisis dalam pengembangan kurikulum pendidikan sekolah yang menekankan pada kecakapan atau keterampilan hidup atau bekerja. Dalam kajian pengembangan kurikulum, isu tersebut dibahas dalam pendekatan studies of contemporary life outside the school atau curriculum design focused on social functions/activities. Dalam pendekatan kurikulum tersebut, pengembangan life skills harus dipahami dalam konteks pertanyaan berikut:
Kemampuan (life skills) apa yang relevan dipelajari anak di sekolah; atau dengan kata lain kemampuan apa yang mereka harus dikuasai setelah menyelesaikan satuan program belajar tertentu.
Bahan belajar apa yang harus dipelajari sehingga ada jaminan bagi anak bahwa dengan mempelajarinya mereka akan menguasai kemampuan tersebut.
Kegiatan dan pengalaman belajar seperti apa yang harus dilakukan dan dialami sendiri oleh anak sehingga ia menguasai dengan sesungguhnya kemampuan-kemampuan yang perlu dikuasai.
Fasilitas, alat, dan sumber belajar bagaimana yang perlu disediakan untuk mendukung kepemilikan kemampuan-kemampuan yang diinginkan tersebut.
Bagaimana cara untuk mengetahui bahwa anak didik benar-benar telah menguasai kemampuan-kemampuan tersebut. Bentuk jaminan apa yang dapat diberikan sehingga anak-anak mampu menunjukkan kemampuan itu dalam kehidupan nyata di masyarakat.
Life skills memiliki makna yang lebih luas dari employability skills dan vocational skills. Keduanya merupakan bagian dari program life skills. Brollin (1989) menjelaskan bahwa life skills constitute a continuum of knowledge and aptitudes that are necessary for a person to function effectively and to avoid interupptions of employment experience. Dengan demikian life skills dapat dijelaskan sebagai kecakapan untuk hidup. Pengertian hidup di sini, tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu saja (vocational job), namun ia harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti membaca, menulis, menghitung, merumuskan, dan memecahkan masalah, mengelola sumber-sumber daya, bekerja dalam tim atau kelompok, terus belajar di tempat bekerja, mempergunakan teknologi, dan lain sebagainya.
Sumber-sumber lain yang diakses dari internet menunjukkan pengertian yang sejalan. Pengertian yang dipandang cukup mewakili adalah life skills are skills that enable a person to cope with the stresses and challenges of life. (http://www.usoe.k.12.ut.us/curr/lifeskills/). Life skills atau keterampilan hidup dalam pengertian ini mengacu pada berbagai ragam kemampuan yang diperlukan seseorang untuk menempuh kehidupan dengan sukses, bahagia dan secara bermartabat di masyarakat. Life skills merupakan kemampuan yang diperlukan sepanjang hayat, kepemilikan kemampuan berfikir yang kompleks, kemampuan komunikasi secara efektif, kemampuan membangun kerja sama, melaksanakan peranan sebagai warga negara yang bertanggung jawab, memiliki kesiapan serta kecakapan untuk bekerja, dan memiliki karakter dan etika untuk terjun ke dunia kerja. Oleh karenanya, cakupan life skills amat luas seperti communication skills, decision-making skills, resource and time-management skills, and planning skills. Pengembangan program life skills pada umumnya bersumber pada kajian bidang-bidang berikut: (1) The World of Work, (2) Practical Living Skills, (3) Personal Growth and Management, dan (4) Social Skills.
Employability skills mengacu kepada satu set (serangkaian) keterampilan yang mendukung seseorang untuk menunaikan pekerjaannya supaya berhasil. Employability skills terdiri dari 3 (tiga) gugus keterampilan, yaitu: (1) Keterampilan Dasar, (2) Keterampilan berfikir tingkat tinggi, dan (3) Karakter dan Keterampilan Afektif. Keterampilan dasar terdiri dari (a) kecakapan berkomunikasi lisan (berbicara dan mendengar/menyimak), (b) membaca (khususnya mengerti dan dapat mengikuti alur berfikir), (c) penguasaan dasar-dasar berhitung, dan (d) terampil menulis. Keterampilan berfikir tingkat tinggi mencakup (a) pemecahan masalah, (b) strategi dan keterampilan belajar, (c) berfikir inovatif dan kreatif, serta (d) membuat keputusan. Karakter dan keterampinan afektif mencakup (a) tanggung jawab; (b) sikap positif terhadap pekerjaan; (c) jujur, hati-hati, teliti dan efisien; (d) hubungan antarpribadi, kerjasama dan bekerja dalam tim, (e) Percaya diri dan memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, (f) penyesuaian diri dan fleksibel, (f) penuh antusias dan motivasi, (g) disiplin dan penguasaan diri, (h) berdandan dan berpenampilan menarik, (i) Jujur dan memiliki integritas, serta (j) mampu bekerja mandiri tanpa pengawasan.
Apabila dihubungkan dengan pekerjaan tertentu, employability skills ditunjukkan pada penguasaan vocational skills, yang intinya terletak pada penguasaan specific occupational job, yaitu keterampilan khusus untuk melakukan pekerjaan tertentu.
Dari model di atas dapat dipahami bahwa pengembangan life skills dalam konteks pendidikan di sekolah sepatutnya difokuskan pada penguasaan specific occupational skills (keterampilan pekerjaan tertentu/spesifik). Jadi, program tersebut merupakan elaborasi yang dengan sendirinya dijiwai oleh pemaknaan life skills, employability skills, dan vocational skills. Apabila dipahami dengan baik, maka dapat dikatakan bahwa life skills dalam konteks kepemilikan specific occupational skills sesungguhnya diperlukan oleh setiap orang. Ini berarti bahwa pengembangan program life skills dalam pemaknaan tersebut di atas sepatutnya menyatu dengan program pendidikan di sekolah. Dengan demikian, dalam konsep pendidikan di sekolah, semua anak yang dinyatakan telah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu sepatutnya telah memiliki life skills. Dalam pendidikan sekolah di Indonesia, masalah tersebut sangat relevan jika dikaitkan dengan kelompok lulusan SLTP dan SMU yang tidak melanjutkan sekolah. Pengembangan program life skills pada jenjang tersebut diharapkan dapat menolong mereka untuk memiliki harga diri dan kepercayaan diri dalam mencari nafkah dalam konteks peluang yang ada di lingkungan masyarakatnya.
2.2. School-Based Management, Community-Based Education, dan Broad-Based Education dalam konteks Pengembangan Life Skills.
Pada dewasa ini ada 3 (tiga) konsep yang sedang menjadi wacana dalam pengembangan pendidikan di Indonesia, yaitu School-Based Management, Community-Based Education, dan Broad-Based Education. School-Based Management merupakan gagasan yang menempatkan kewenangan pengelolaan sekolah sebagai satu entitas sistem. Dalam format ini, kepala sekolah dan guru-guru sebagai kelompok profesional, dengan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya (stakeholder sekolah), dianggap memiliki kapasitas untuk memahami kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang dihadapi sekolah dalam upaya mengembangkan program-program sekolah yang diinginkan sesuai dengan visi dan misi sekolah. Community-Based Education adalah satu gagasan yang menempatkan orientasi penyelenggaraan pendidikan pada lingkungan kontekstual (ciri, kondisi dan kebutuhan masyarakat) dimana kelembagaan pendidikan itu berada. Orientasi pengembangan program sekolah hendaknya merefleksikan ciri, sifat, dan kebutuhan masyarakat. Broad-Based Education adalah pendidikan berbasis masyarakat luas, yaitu kebijakan penyelenggaraan pendidikan yang diperuntukan bagi kepentingan lapisan masyarakat terbesar. Sifat dasar yang menonjol dari lapisan masyarakat terbesar adalah pendidikan yang menekankan kecakapan atau keterampilan hidup atau bekerja. Atau, secara teknis filosofis orientasi pendidikan mereka kepada life skills. Di New Zealand gagasan seperti ini direfleksikan menjadi motto sebuah college, yaitu young men taking their place in the world, yang menekankan pada pentingnya kemampuan Future Problem Solving, kejelasan Vocational Pathways, dan penyelenggaraan belajar dengan pendekatan Integrated Curriculum (http//www.nelcollege.schoolnz). Gagasan ini sangat beralasan, sebab sesungguhnya secara umum perkembangan peradaban ekonomi masyarakat dewasa ini telah menuntut kesanggupan sekolah memiliki pertautan yang jelas dengan tuntutan masyarakat luas dan dunia kerja. Paradigma school to work harus melandasi segenap kegiatan pendidikan.
Apabila dicermati, ketiga gagasan yang dijelaskan di atas memiliki titik temu, yaitu bagaimana menyelenggarakan pendidikan di sekolah yang dapat memenuhi kebutuhan sebagian besar masyarakat pengguna, dengan memperhatikan ciri, sifat, dan kebutuhan masyarakatnya, sementara pengelolaan sekolah mampu mengakomodasi kepentingan tersebut dengan cara melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan dengan sekolah, yang direfleksikan dalam visi, misi, dan program-program strategisnya. Dalam kondisi seperti itu, di samping tetap melayani program-program akademiknya, sekolah harus mampu pula menyediakan paket-paket atau program-program pembelajaran yang dapat memberikan jaminan kepemilikan life skills yang diorientasikan pada penguasaan specific occuvational skills. Program ini diharapkan memberi manfaat plus bagi anak didik yang karena sebab tertentu tidak dapat mengikuti jenjang pendidikan yang lebih lanjut.
2.3. Pengembangan SLTA Berwawasan Khusus dalam Konteks Penerapan Life Skills
Pada saat ini penulis bersama satu tim konsultan mendapat kepercayaan dari Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Dirjen Dikdasmen untuk mengembangkan Pola Induk Pengembangan Model Penyelenggaraan Sekolah Menengah Umum Berwawasan Khusus. Penyelenggaraan SLTA yang berwawasan khusus (plus penguasaan keterampilan tertentu – specific occupational skills) dimaksudkan untuk memberikan keterampilan hidup tertentu pada siswa yang disesuaikan dengan potensi daerah, bakat, dan pilihan hidup yang terkait dengan bidang studi tertentu di SLTA. Program bersifat intra dan ekstra kurikuler sehingga siswa diberi keleluasaan untuk memilih sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Apabila diposisikan dalam makna life skills, maka program ini merupakan aspek dari pengembangan life skills.
Secara kelembagaan, posisi penting SLTA adalah mempersiapkan anak didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Dalam kenyataannya, seperti telah disebutkan di bagian depan, hanya sebagian saja lulusan SLTA (46,9 persen) yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi (Mendiknas, 2001). Ini berarti bahwa sebagian besar lulusan SLTA tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka ke perguruan tinggi. Dapat diduga bahwa lulusan SLTA yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi tersebut masuk ke dunia kerja tanpa bekal yang cukup untuk bekerja. Ketidaklanjutan tersebut diyakini disebabkan oleh banyak faktor. Namun demikian, faktor sosial ekonomi keluarga tampaknya menjadi sebab utama. Hasil penelitian Majelis Pendidikan Tinggi, Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2001) menunjukkan bahwa pengembangan pendidikan kewirausahaan lebih diminati oleh siswa yang latar belakang pekerjaan orang tuanya masuk dalam kategori kelas menengah ke bawah. Jika kelompok lulusan SLTA yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi tersebut berasal dari kelompok keluarga demikian, maka masalahnya adalah bagaimana mencari pemecahan yang tepat tanpa mengubah misi kelembagaan SLTA sendiri.
Pengembangan SLTA berwawasan khusus (yang berorientasi pada pengembangan life skills) tidak mengubah sistem pendidikan SLTA, dan juga tidak untuk mereduksi pendidikan hanya sebagai latihan kerja. Program ini tetap menempatkan SMU sebagai lembaga pendidikan yang mengembangkan program-program akademik sesuai dengan misi SLTA mempersiapkan anak-anak untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. SMU berwawasan khusus yang akan dikembangkan justru memberikan kesempatan kepada setiap anak untuk meningkatkan potensinya, dan bahkan memberikan peluang pada anak untuk memperoleh bekal keterampilan/keahlian yang dapat dijadikan sebagai sumber penghidupannya, terutama bagi mereka yang karena sesuatu hal tidak dapat melanjutkan pendidikannya. Pengembangan SLTA yang berorientasi keterampilan hidup tidak dimaksudkan untuk mendikte sekolah, tetapi hanya menawarkan berbagai kemungkinan atau menu yang dapat dipilih sesuai dengan situasi dan kondisi riil sekolah, baik ditinjau dari keberadaan murid-muridnya maupun kehidupan masyarakat sekitar. Pengembangan SMU berwawasan khusus pun tidak dimaksudkan untuk menyaingi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang memiliki misi khusus menyiapkan lulusannya untuk menguasai kemampuan kejuruan untuk terjun ke dunia kerja. Dalam pelaksanaan program ini, SMK dapat menjadi mitra dalam melayani penyediaan paket programnya melalui program kemitraan (partership). Bahkan dalam pengembangan program ini, dunia kerja dan industri dapat bekerja sama melalui program "outsourcing".
Pengembangan SLTA berwawasan khusus ini dikembangkan melalui (1) pemberdayaan dan pemanfaatan potensi lokal seoptimal mungkin, (2) pemberian peluang/fleksibilitas terhadap sekolah dalam pemilihan dan pelaksanaan pembelajaran keterampilan tertentu, serta (3) pemberdayaan unit-unit terkait dalam penyiapan dan pengembangan kurikulum muatan lokal yang berpijak pada perkembangan jaman dan teknologi modern. Orientasi pembelajaran menggunakan prinsip learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to life together secara harmonis.
Pengembangan SMU yang berwawasan khusus dikembangkan melalui tahapan sebagai berikut:
1. Tahun 2001. Studi kelayakan tentang penyusunan dan pengembangan pola induk model penyelenggaraan SMU berwawasan khusus sejumlah 8 (delapan) model yaitu: Ilmu-ilmu Dasar, Keterampilan, Seni, Bahasa Asing, Lingkungan Hidup, Teknologi Informatika, Kepribadian dan Budi Pekerti, dan Olah Raga Prestasi.
2. Tahun 2002. Penyebarluasan/sosialisasi dan perintisan pada beberapa sekolah.
3. Tahun 2003. Implementasi/pelaksanaan program.
Kegiatan yang ditangani oleh Tim Kerja (penulis bersama Tim Konsultan) adalah pengembangan tahap pertama (butir no.1). Kegiatan ini terdiri dari dua kegiatan, yaitu (1) Penyusunan Naskah Pola Induk Pengembangan Model SMU Berwawasan Khusus, dan (2) Sosialisasi Model SMU Berwawasan Khusus.
2.3.1.Tahapan Penyusunan Naskah Pola Induk
Penyusunan Naskah Pola Induk dilakukan melalui tahapan kegiatan sebagai berikut:
Pertama, penetapan jenis penyelenggaraan model SLTA berwawasan khusus yang akan dikembangkan pola induk penyelenggaraannya. Berdasarkan analisis kebutuhan sementara, dikembangkan 8 (delapan) model SLTA berwawasan khusus yang terdiri dari:
1. Model SLTA Berwawasan Ilmu-Ilmu Dasar.
2. Model SLTA Berwawasan Keterampilan.
3. Model SLTA Berwawasan Seni.
4. Model SLTA Berwawasan Bahasa Asing.
5. Model SLTA Berwawasan Lingkungan Hidup.
6. Model SLTA Berwawasan Teknologi Informatika.
7. Model SLTA Berwawasan Kepribadian.
8. Model SLTA Berwawasan Oleh Raga Prestasi.
Kedua, melakukan berbagai studi kepustakaan (literatur) dan dokumen tentang pengembangan SLTA yang memiliki keunggulan khusus. Sumber-sumber yang dikaji berkaitan dengan tema comprehensive high school, vocational high school, life skills, vocational skills, dan employability skills.
Ketiga, penetapan substansi pokok dokumen pola induk pengembangan model SLTA berwawasan khusus untuk setiap dokumen model SLTA yang dikembangkan.
Keempat, melakukan studi lapangan ke SLTA yang telah memiliki kelebihan khusus atau keunggulan khusus dalam bidang-bidang yang akan dijadikan model pengembangan SLTA. Studi lapangan ini dilakukan ke SMU yang dijadikan referensi praktek sebagai berikut :
1. SMU Muhammadiyah Plus, Medan (Bidang Bahasa Asing);
2. SMUN 11 Yogyakarta (Bidang Seni );
3. MAN Jember, Jawa Timur (Bidang Ketrampilan);
4. SMUN 23 Bandung (Bidang Lingkungan Hidup);
5. SMU Regina Pacis, Bogor (Bidang Ilmu-Ilmu Dasar);
6. SMUN Sewon, Bantul (Bidang Teknologi Informatika);
7. SMU Muttahari, Bandung (Bidang Kepribadiandan Budi Pekerti);
8. SMUN 3 Jakarta (Bidang Olahraga Prestasi).
9. SMKN 26 Jakarta ( Bidang Teknologi Mesin Perkakas )
10. SMKN 58 Jakarta ( Bidang Pariwisata )
Yang menjadi dasar pemilihan sekolah-sekolah tersebut sebagai referensi empirik adalah hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa orientasi wawasan khusus tersebut telah dilaksanakan secara sungguh-sungguh sebagai bagian dari program sekolah atas prakarsa sekolah masing-masing. Oleh karena itu, perlu dikemukakan di sini bahwa pengembangan Model SLTA Berwawasan Khusus ini bukanlah praktek yang sama sekali baru. "Mutiara" ide tersebut sesungguhnya telah dilaksanakan di beberapa sekolah (diantaranya yang dijadikan referensi dalam studi ini). Studi ini mencoba mengembangkan model dengan cara mempelajari secara sistemik apa yang telah dilakukan , mengkaji berbagai pengalaman lainnya dari berbagai sumber, disertai pula kajian akademik dari sumber pustaka.
Kelima, menyusun draft (buram) awal pola induk model penyelenggaraan SLTA yang berwawasan khusus sesuai dengan substansi yang dikembangkan seperti dijelaskan di atas berdasarkan hasil studi kepustakaan dan studi lapangan ke SLTA referensi yang dipilih untuk masing-masing model.
Keenam, melakukan seminar dan lokakarya pembahasan buram yang dihasilkan tim pengembang dengan melibatkan para pakar yang relevan, praktisi lapangan (Kepala Sekolah, Guru, dan Pengawas ), maupun pejabat dari unit-unit utama kantor pusat Departemen Pendidikan Nasional. Kegiatan serupa dilakukan untuk menyempurnakan buram naskah pola induk model penyelenggaraan SLTA berwawasan khusus sesuai dengan saran/usul/pendapat yang berkembang dalam seminar, diskusi, dan lokakarya yang diselenggarakan. Naskah akhir dinyatakan diterima setelah memenuhi spesifikasi seperti ditetapkan dalam naskah kesepakatan, dalam hubungannya dengan kebijakan Depdiknas, kapasitas profesional dan kapasitas akademik.
2.3.2. Sosialisasi Model SLTA Berwawasan Khusus
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memperkenalkan Model Penyelenggaraan SLTA Berwawasan Khusus kepada para Kepala Dinas Pendidikan Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) dan Kepala Sekolah yang sekolahnya memenuhi kriteria untuk melaksanakan model yang akan dikembangkan. Kegiatan sosialisasi ini meliputi:
1. Melakukan lokakarya untuk menetapkan kriteria SLTA yang akan dijadikan pilot proyek ujicoba model penyelenggaraan SMU/ SMK berwawasan khusus untuk tahun ajaran 2001/2002 bersama pihak Direktorat SMU/ SMK , Dirjen Dikdasmen, Jakarta.
2. Melakukan konsultasi dengan pihak Pemda/Dinas Pendidikan Propinsi dan Kabupaten/Kota tertentu untuk pelaksanaan ujicoba model SMU/ SMK berwawasan khusus di beberapa SMU / SMK yang memenuhi kriteria yang ditetapkan;
3. Bersama pihak Direktorat PMU dan Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/ Kota terkait memilih dan menetapkan SMU/K yang akan dijadikan proyek ujicoba model berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan;
4. Melaksanakan "in-house training" sebagai pembekalan dan sosialisasi model SMU/K berwawasan khusus bagi para KS dan Guru SMU/K yang akan dijadikan proyek ujicoba (piloting) model penyelenggaraan SMU/K berwawasan khusus di sekolah yang telah terpilih. Sesuai dengan perencanaan yang telah disusun, Piloting Model SMU/K Berwawasan Khusus dilaksanakan tahun 2002.

Saat ini sudah waktunya pendidikan nasional direncanakan untuk membekali peserta didik dengan kecakapan hidup dan kehidupan life skill yang secara integratif memadukan potensi generik dan spesifik guna memecahkan dan mengatasi problematika kehidupan.
Pemerintah dalam hal ini Depdiknas, sudah mulai tanggap. Yaitu dengan menyediakan dana ratusan miliar rupiah untuk merealisasikan Program BBE. Setiap Kantor Dinas Pendidikan Nasional di Pemda/Pemkot di seluruh Indonesia diberi keleluasaan mengajukan proposal menyelenggarakan program tersebut.
Program BBE itu bisa dimasukkan ke dalam intra maupun ektra di tiap sekolah. Tujuannya, agar anak didik mendapat pendidikan keahlian khusus sesuai dengan bakatnya. Sehingga, alumnus sekolah tersebut bisa mandiri yang akhirnya bisa menciptakan lapangan kerja tanpa harus bergantung pada orang lain.
Selain pendidikan formal, program ini juga bisa dilaksanakan kelompok-kelompok Usaha Kecil Menengah (UKM) dan kalangan LSM. Program tersebut akan mulai direalisasikan Maret mendatang.

Untuk mengantisipasi tantangan global, Departemen Pendidikan Nasional telah menyusun konsep bertajuk Pendidikan Berbasis Kecakapan Hidup (Life-Skill Based Education). Di satu sisi, konsep ini diperlukan untuk menyongsong kecenderungan global dan membekali siswa dengan berbagai keterampilan sesuai program pengembangan di daerah-daerah kabupaten, maupun untuk memperluas kompetensi siswa yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari; tetapi di sisi lain konsep ini merupakan wacana yang masih dapat diperdebatkan, karena sebagian pakar masih mempertahankan asumsi bahwa keterampilan belajar itu lebih penting dari pada belajar keterampilan. Belajar keterampilan merupakan bagian dari keterampilan belajar. Dalam keterampil belajar terakomodasi berbagai kemampuan, termasuk belajar keterampilan yang searah dengan pemberian multi-life skilled. Pembelajaran berbasis keterampilan hidup (life-skilled based education) merupakan salah satu wacana yang dapat diangkat menjadi kebijakan pemerintah untuk menghasilkan tenaga terampil dalam waktu yang singkat. Akan tetapi, dalam implementasinya harus dalam kerangka pendidikan semesta yang menghasilkan keterampilan belajar (learning to learn) terus menerus
3. Empat Pilar Pembelajaran
Menekankan perlunya Masyarakat Belajar yang berbasis pada empat kemampuan yakni:
(1) belajar untuk mengetahui,
(2) belajar untuk dapat melakukan,
(3) belajar untuk dapat mandiri, dan
(4) belajar untuk dapat bekerjasama.
Bahwa tidak semua siswa yang tahu dapat melakukan dalam arti memiliki keterampilan; tetapi yang dapat melakukan pasti memiliki pengetahuan sebagai dasar teoretik. Tidak semua yang dapat melakukan, dapat memiliki kemandirian, karena untuk menjadi mandiri memerlukan syarat-syarat lain; tetapi yang memiliki kemandirian pasti memiliki keterampilan khusus sebagai basisnnya
Periksa Gambar 1 di bawah.
Keterangan: T = tahu; D = dapat; M = mandiri; KS = kerjasama
Hubungan 4 Pilar Pembelajaran dalamProses Pembentuan Keterampilan Universal kemampuan untuk memecahkan masalah (problem solving).

Untuk mencapai tujuan akhir tersebut, harus dilampuai dua tujuan antara, yakni: (1) mampu mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya, dan (2) dapat berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasikan segenap potensinya, mengekspresikan dan menyatakan dirinya sepenuhnya-seutuhnya dengan cara menjadi diri sendiri. (Harefa, 2000: 136).


Gambar 2.Hubungan Keterampilan Belajar dan Hasil Belajar Otentik

Oleh karena itu, frame untuk membangun bangsa seharusnya lebih membuka peluang bagi tumbuhnya kebutuhan berprestasi yang termanifestasi pada keterampilan belajar. Dari keterampilan belajar ini akan tumbuh hasil belajar otentik (actual outcomes) yang berupa perilaku mulia maupun karya yang bermanfaat bagi sesamanya.
Semakin tinggi dan semakin luas keterampilan belajar yang dimiliki individu, semakin tinggi dan semakin luas pula keterampilan-keterampilan lain yang mengiringinya yang merupakan hasil belajar otentik. Periksa Gambar 2 di atas.
. Sedangkan dalam belajar keterampilan lebih condong dan dominan pada aspek psikomotor. Bagaimana posisi belajar keterampilan dan keterampilan belajar dalam konteks pendidikan, dapat diperiksa pada Gambar 3.
Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia yang secara teknis-operasional dilakukan melalui pembelajaran. Program pembelajaran yang baik akan menghasilkan efek berantai pada kemampuan siswa untuk belajar secara terus menerus melalui sumber belajar yang tak terbatas. Dari belajar siswa dapat menciptakan kembali dirinya, dapat melakukan sesuatu yang baru, dapat merasakan hubungan yang lebih akrab dengan alam dan sesamanya, dan dapat memperluas kapasitas pribadi dalam rangka kehidupan yang lebih luas. Dari keterampilan belajar akan ditemukan satu bentuk keterampilan khusus, yang sesuai dengan bakat dan minatnya dan mungkin digunakan sebagai basis untuk memperoleh penghasilan.
Gambar 3. Posisi Terampil Belajar & Belajar TerampilDalam Pendidikan
Keterampilan khusus yang dimaksud ialah life-skilled. Artinya, life-skilled tumbuh dari keterampilan belajar. Sebagaimana penegasan Gredler (1989: 2) tentang kedudukan pembelajaran dalam proses kehidupan manusia: “Individual who have become skilled at self directed learning are able to acquire a variety of new leisure-time and job-skills. They also have developed the capacity to endow their lives with life-long creativity.” Jadi, kedudukan belajar terampil merupakan bagian dari terampil belajar.
Individu yang memiliki keterampilan belajar, dalam arti dapat mengarahkan diri, berarti akan dapat memperoleh berbagai keterampilan lain, termasuk keterampilan untuk bekerja yang merupakan bagian dari kreativitas kehidupan jangka panjang. Individu yang memiliki keterampilan belajar lebih optimis karena memiliki banyak pilihan, sedangkan individu yang hanya memiliki keterampilan terbatas sebagai akibat terlalu menfokus pada satu keterampilan yang spesifik potensial menjadi orang yang pesimistik, karena tidak memiliki banyak pilihan dan kemampuan transfer ilmu.

Kesembilan indikator yang menjadi acuan program pendidikan LS 1999 tersedbut terdiri dari:
1. Decision making (kemampuan membuat keputusan) – membuat pilihan diantara berbagai alternatif, kemampuan membuat daftar pilihan sebelum membuat keputusan, mampu memikirkan akibat dari putusan yang akan diambil, dan mampu mengevaluasi pilihan yang telah dibuat.
2. Wise use of resources (kemampuan memanfaatkan sumber daya) – menggunakan referensi, bermanfaat, punya nilai responsibilitas, berdasarkan prioritas,
a. Mendayagunakan sumber daya yang ada di sekitar dirinya.
b. Memanfaatkan sumber daya finansial sendiri secara terencana.
c. Memanfaatkan pengaturan waktu dengan baik.
d. Berhati-hati dengan personalitas diri.
3. Communication (komunikasi) – kemampuan menyampaikan pendapat, informasi, atau pesan dengan berbagai orang melalui pembicaran, penulisan, gerak tubuh, dan ekspresi yang efektif.
a. Membuat presentasi
b. Mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan orang
c. Jelas dalam menyampaikan pendapat, perasaan, atau ide kepada yang lain
d. Tidak emosional dalam menjelaskan ketidaksepakatan 4. Accepting differences (menerima perbedaan) – kemampuan mengatur dan menerima kesenjangan atau perbedaan dengan pelbagai pihak
e. Menghargai orang yang berbeda
f. Bekerja sama dengan orang yang berbeda
g. Menjalin hubungan dengan orang yang berbeda
5. Leadership (kepemimpinan) – mampu mempengaruhi dan menjelaskan sesuatu kepada pelbagai pihak di dalam kelompok.
a. Mengatur kelompok kepada tujuan yang telah ditetapkan
b. Menggunakan gaya kepemimpinan yang variatif
c. Saling berbagi dengan yang lain dalam kepemimpinan
6. Useful/marketable skills (kemampuan yang marketable) – kemampuan menjadi pekerja dan dibutuhkan oleh lapangan kerja
a. Memahami permasalahan
b. Mengikuti instruksi
c. Memberi kontribusi pada kerja tim
d. Siap bertanggung jawab pada tiap tugas yang diberikan
e. Menghindari kesalahan dan mencatat prestasi
f. Siap melamar pekerjaan
8. Healthy lifestyle choices (kemampuan memilih gaya hidup sehat); kemampuan memilih gaya hidup sehat bagi tubuh dan pikiran, menghindari penyakit dan luka-luka
a. Memilih makanan sehat
b. Memilih aktifitas yang sehat bagi tubuh dan mental
c. Mengatur stress secara positif di dalam kehidupan pribadi
d. Menghindari perilaku beresiko

9. Self-responsibility (bertanggung jawab pada diri sendiri);mampu menjaga diri; menghargai perilaku diri dan dampaknya; mampu memilih posisi diantara salah dan benar
a. Mengerjakan sesuatu yang benar bagi diri sendiri ketika di dalam kelompok
b. Selalu mengingatkan diri akan kesalahan yang bisa dibuat
c. Mencoba memahami betul sebelum membuat komitmen
d. Mengontrol tindakan diri berdasarkan tujuan/masa depan
4. Kesimpulan
Belajar keterampilan merupakan bagian dari keterampilan belajar. Dalam keterampil belajar terakomodasi berbagai kemampuan, termasuk belajar keterampilan yang searah dengan pemberian multi-life skilled. Pembelajaran berbasis keterampilan hidup (life-skilled based education) merupakan salah satu wacana yang dapat diangkat menjadi kebijakan pemerintah untuk menghasilkan tenaga terampil dalam waktu yang singkat. Akan tetapi, dalam implementasinya harus dalam kerangka pendidikan semesta yang menghasilkan keterampilan belajar (learning to learn) terus menerus. Keterampilan belajar lebih inklusif karena mencakup berbagai aspek perkembangan kepribadian manusia, yang terdiri dari aspek intelektual, moral, dan keterampilan. Belajar keterampilan sebagai salah satu aspek keterampilan belajar akan tumbuh searah dengan perkembangan keterampilan belajar. Sebagai salah satu upaya untuk menyiapkan dan menyediakan sumber daya manusia terampil, konsep tersebut perlu disambut dengan baik dan bijak tanpa harus mengalahkan perlunya pendidikan universal yang menghasilkan berbagai aspek keterampilan yang lebih esensial berjangka panjang dan kompleks.

5. Penutup
Sebagai institusi pendidikan, sekolah sepatutnya memiliki kapasitas sebagai "a place for better learning". Sebutan tersebut sangat beralasan karena sekolah dirancang untuk menyelenggarakan pendidikan dengan spesifikasi persyaratan yang mengikat. Dalam kondisi seperti itu, maka penguatan akuntabilitas sekolah sepatutnya dikaitkan dengan kepentingan bagaimana penyelenggaraan program-program pendidikan yang ditawarkannya dapat memenuhi kebutuhan sebagian besar masyarakat pengguna. Dalam kondisi seperti itu, di samping sekolah tetap melayani program-program akademiknya, sekolah harus mampu menyediakan paket-paket atau program-program pembelajaran yang dapat memberikan jaminan kepemilikkan "life skills" yang diorientasikan pada penguasaan "specific occuvational skills". Kemampuan tersebut diperlukan oleh setiap anak sekolah. Namun demikian, SMU/K tampaknya memiliki posisi prioritas. Pengembangan Model SMU/K Berwawasan Khusus, yang pada esensinya dijiwai oleh pengembangan "life skills" diharapkan dapat menolong sebagian besar lulusan SMU/K yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi untuk memiliki keterampilan hidup tertentu sesuai dengan potensi daerah, bakat, minat dan pilihan hidupnya. Pengembangan program seperti ini memerlukan kerjasama dengan orang tua siswa, masyarakat sekitar, dunia kerja dan pihak yang berkepentingan lainnya. Pengalaman empirik menunjukkan bahwa keberhasilan penyelenggaraan program seperti itu, di samping didukung oleh fasilitas, guru-guru yang berdedikasi, dan dukungan kepemimpinan pendidikan setempat (Dinas Pendidikan Daerah), peranan kepala sekolah sangat menentukan atas keberhasilan penyelenggaraan program. ( koko)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar