PENERAPAN LIFE SKILL SEBAGAI BAGIAN DARI KEBIJAKAN DINAS PENDIDIKAN MENENGAH DAN TINGGI
Oleh KOKO
1. Latar Belakang
Salah
satu pendekatan kurikulum berbasis kompetensi adalah pendekatan
kebermaknaan sebagai pendekatan pembelajaran. Dalam proses
belajar-mengajar, siswa diperlakukan sebagai subjek utama sedangkan guru
berperan sebagai fasilitator dalam mengembangkan keterampilan berbahasa
siswa.
TIDAK kalah penting dalam proses pendidikan adalah kemampuan
individu terhadap suatu keterampilan tertentu, atau yang disebut life
skill (LS). LS merupakan salah satu faktor kemampuan dan modal dasar
untuk hidup mandiri supaya tetap survive, di samping academic skill yang
lebih berorientasi pada pengembangan nalar intelek dan kritis. Keduanya
memang menjadi bekal utama siswa, mengingat setiap penyelenggaraan
pendidikan tidak lain sebagai sarana mobilitas sosial atau investasi
masa depan (human investation).
Adapun faktor LS yang berkaitan langsung dengan dunia empirik tempat anak tumbuh dan berkembang kurang diperhatikan.
Akibatnya,
anak tidak memiliki motivasi untuk mengembangkan potensi lokal yang
ada. Bila hal itu dibiarkan, maka lambat laun-namun pasti-ia pun akan
tercerabut dari akar budaya dan khazanah tradisi. Padahal, niat awal
dibangunnya sebuah institusi pendidikan ialah untuk mencetak sebanyak
mungkin generasi penerus yang sanggup mengembangkan peradaban, serta
memiliki nilai manfaat bagi kehidupan bersama agar menjadi lebih baik
dan bermakna.
BERANGKAT dari fakta inilah gagasan untuk menguatkan LS
pada kurikulum muatan lokal perlu mendapatkan perhatian masyarakat
luas, terutama para praktisi dan pemerhati dunia pendidikan di Tanah
Air. Paling tidak, untuk memikirkan kembali secara serius konsep muatan
lokal dengan tetap memperhatikan kesesuaian antara materi pelajaran yang
akan diterapkan di sekolah yang bersangkutan dengan semua potensi lokal
yang ada di sekitarnya.
Dengan kata lain, yang perlu dipikirkan
adalah bagaimana mengupayakan materi muatan lokal tersebut dirancang
berdasarkan modal sosial (social capital) daerah setempat. Pada tingkat
praksis memperkenalkan secara mendalam kepada siswa tentang hal-hal yang
menyangkut seluk-beluk: (1) institusi lokal (local institution); (2)
kearifan lokal (local wisdom); dan (3) pengetahuan lokal (local
knowledge). Tujuannya adalah untuk menguatkan ikatan emosional dalam
diri siswa supaya aktif terlibat membangun daerahnya sendiri.
Pemikiran
di atas kian menjadi urgen manakala kita mempertimbangkan, pertama,
bahwa tidak bisa dipungkiri apa yang selama ini dilakukan-lewat proyek
indoktrinasi yang gencar oleh negara (sentralistik)-sekolah telah
terlibat dalam upaya pemiskinan modal sosial secara besar-besaran di
masyarakat, sehingga berdampak serius pada generasi muda terdidik, yakni
tercerabut dari akar budaya dan tradisi lokalnya.
Kedua, dalam
rangka menyukseskan program otonomi daerah sebagai langkah strategis
untuk memberdayakan masyarakat lokal. Oleh karena itu, mendayagunakan
seluruh aset dan potensi yang dimiliki daerah merupakan suatu
keniscayaan yang bakal mengantarkan keberhasilan pembangunan daerah.
Dengan demikian, lembaga pendidikan (sekolah) diharapkan dapat
berpartisipasi aktif dan menjadi lokomotif bagi peningkatan akselerasi
peran daerah dalam pembangunan nasional, sehingga kesenjangan
antardaerah atau desa dan kota dapat diminimalisasi.
Menyangkut
standar kompetensi siswa, yaitu tamatan Sekolah minimal memiliki
pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup (life skill).
Menghadapi
tuntutan standar kompetensi siswa, yaitu dalam rangka memberikan
pengetahuan dan keterampilan untuk hidup dalam masyarakat (life skill)
sebagaimana disebutkan dalam kurikulum tahun 2002, tetapi dengan jumlah
jam yang disediakan minimal 42 jam, sekolah dapat menambahnya menjadi 52
jam. Dengan demikian, jumlah jam belajar setiap hari rata-rata menjadi
10 jam, kecuali hari Jumat. Terutama pada kurikulum SLTA.
Orientasi
pembelajaran life skills dikembangkan melalui metode pengajaran quantum
learning yaitu pengondisian proses belajar aktif hingga siswa memiliki
pengetahuan dan keterampilan tertentu serta potensi bagi pengembangan
keterampilan lebih lanjut.
Quantum learning adalah model
pembelajaran yang hendak membekali siswa dengan target seperti itu.
Melalui teknik dan metoda belajar yang bersuasana persuasif, quantum
learning mempola kognisi, afektif, dan konatif peserta didik agar
terlibat dalam proses belajar aktif.
…… Quantum learning ialah kiat,
petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam
pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses
yang menyenangkan dan bermanfaat. Beberapa teknik yang dikemukakan
merupakan teknik meningkatkan kemampuan diri yang sudah populer dan umum
digunakan. Namun, Bobbi DePorter mengembangkan teknik-teknik yang
sasaran akhirnya ditujukan untuk membantu para siswa menjadi responsif
dan bergairah dalam menghadapi tantangan dan perubahan realitas ……….
Dewasa
ini, pendidikan di sekolah diberi peranan yang sangat dinamis.
Pendidikan semakin diarahkan kepada tujuan-tujuan nasional. Sebagai
salah satu diantara "industri" vital negara, pendidikan mengabdikan diri
untuk menghasilkan manusia-manusia yang diperlukan bagi kemakmuran
bangsa, bahkan memajukan kedudukan bangsa dan negara di dunia yang
bersaing. Pernyataan-pernyataan seperti "pendidikan sebagai investasi"
atau "pendidikan adalah kunci perubahan" pada dewasa ini sedang
memperoleh pengakuan sebagai kebenaran di kalangan para pemimpin negara,
para perancang kebijakan, dan para ahli yang menaruh minat dalam proses
pembangunan.
Salah satu pendekatan untuk memposisikan peran
pendidikan di sekolah adalah melihat peran sekolah untuk menolong
individu, keluarga, masyarakat, dan negara dalam menjawab permasalahan
yang perlu dipecahkan. Salah satu masalah yang dihadapi pada saat ini
adalah adanya kenyataan bahwa tidak semua lulusan SLTP dan SMU
melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Data tahun
1999/2000 menunjukkan angka sebesar 19,45 persen untuk lulusan SLTP dan
sebagian besar (53,12 persen) untuk lulusan SMU (Mendiknas,2001).
Kenyataan ini mengundang pemikiran yang serius, karena lulusan SLTP dan
SMU pada dasarnya tidak dibekali kecakapan khusus untuk memasuki dunia
kerja.
Masalah besarnya proporsi lulusan yang tidak melanjutkan
sekolah merupakan realitas sosial yang perlu mendapat respon yang tepat.
Sekolah perlu mengembangkan alternatif layanan program pendidikan yang
mampu memberikan keterampilan untuk hidup (life skills) bagi peserta
didiknya. Mereka yang karena sesuatu hal tidak dapat melanjutkan
pendidikannya (sebagian besar untuk kasus lulusan SMU) perlu mendapat
perhatian extra. Dalam kepentingan inilah Mendiknas (2001) mengangkat
gagasan perlu adanya kebijakan pendidikan yang berbasis pada masyarakat
luas dengan orientasi kecakapan untuk hidup (Broad-Based Education).
Dijelaskan lebih lanjut oleh Mendiknas bahwa pendidikan yang
berorientasi pada keterampilan hidup tidak mengubah sistem pendidikan,
dan juga tidak untuk mereduksi pendidikan hanya sebagai latihan kerja.
Pendidikan yang berorientasi pada keterampilan hidup justru memberikan
kesempatan kepada setiap anak untuk meningkatkan potensinya, dan bahkan
memberikan peluang pada anak untuk memperoleh bekal
keahlian/keterampilan yang dapat dijadikan sebagai sumber
penghidupannya.
Tulisan ini diharapkan dapat memperkaya wawasan
tentang life skills dalam konteks pendidikan di sekolah, khususnya di
Sekolah Menengah Tingkat Atas atau sederajat. Gagasan yang dikembangkan
dalam tulisan ini, yaitu peningkatan mutu SLTA berwawasan khusus dalam
konteks implementasi life skills, diharapkan dapat memberikan alternatif
solusi dalam menangani lulusan SLTA atau sederajat yang tidak
melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
2. Kajian Literatur dan Pembahasan
2.1. Konsep Life Skills dalam Pendidikan Sekolah.
Konsep
life skills di sekolah merupakan wacana pengembangan kurikulum yang
telah lama menjadi perhatian para pakar kurikulum (Tyler 1949;
Taba,1962; Saylor, et.al.; 1983; Print,1993). Life Skills merupakan
salah satu fokus analisis dalam pengembangan kurikulum pendidikan
sekolah yang menekankan pada kecakapan atau keterampilan hidup atau
bekerja. Dalam kajian pengembangan kurikulum, isu tersebut dibahas dalam
pendekatan studies of contemporary life outside the school atau
curriculum design focused on social functions/activities. Dalam
pendekatan kurikulum tersebut, pengembangan life skills harus dipahami
dalam konteks pertanyaan berikut:
Kemampuan (life skills) apa yang
relevan dipelajari anak di sekolah; atau dengan kata lain kemampuan apa
yang mereka harus dikuasai setelah menyelesaikan satuan program belajar
tertentu.
Bahan belajar apa yang harus dipelajari sehingga ada
jaminan bagi anak bahwa dengan mempelajarinya mereka akan menguasai
kemampuan tersebut.
Kegiatan dan pengalaman belajar seperti apa yang
harus dilakukan dan dialami sendiri oleh anak sehingga ia menguasai
dengan sesungguhnya kemampuan-kemampuan yang perlu dikuasai.
Fasilitas,
alat, dan sumber belajar bagaimana yang perlu disediakan untuk
mendukung kepemilikan kemampuan-kemampuan yang diinginkan tersebut.
Bagaimana
cara untuk mengetahui bahwa anak didik benar-benar telah menguasai
kemampuan-kemampuan tersebut. Bentuk jaminan apa yang dapat diberikan
sehingga anak-anak mampu menunjukkan kemampuan itu dalam kehidupan nyata
di masyarakat.
Life skills memiliki makna yang lebih luas dari
employability skills dan vocational skills. Keduanya merupakan bagian
dari program life skills. Brollin (1989) menjelaskan bahwa life skills
constitute a continuum of knowledge and aptitudes that are necessary for
a person to function effectively and to avoid interupptions of
employment experience. Dengan demikian life skills dapat dijelaskan
sebagai kecakapan untuk hidup. Pengertian hidup di sini, tidak
semata-mata memiliki kemampuan tertentu saja (vocational job), namun ia
harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti
membaca, menulis, menghitung, merumuskan, dan memecahkan masalah,
mengelola sumber-sumber daya, bekerja dalam tim atau kelompok, terus
belajar di tempat bekerja, mempergunakan teknologi, dan lain sebagainya.
Sumber-sumber
lain yang diakses dari internet menunjukkan pengertian yang sejalan.
Pengertian yang dipandang cukup mewakili adalah life skills are skills
that enable a person to cope with the stresses and challenges of life. (http://www.usoe.k.12.ut.us/curr/lifeskills/).
Life skills atau keterampilan hidup dalam pengertian ini mengacu pada
berbagai ragam kemampuan yang diperlukan seseorang untuk menempuh
kehidupan dengan sukses, bahagia dan secara bermartabat di masyarakat.
Life skills merupakan kemampuan yang diperlukan sepanjang hayat,
kepemilikan kemampuan berfikir yang kompleks, kemampuan komunikasi
secara efektif, kemampuan membangun kerja sama, melaksanakan peranan
sebagai warga negara yang bertanggung jawab, memiliki kesiapan serta
kecakapan untuk bekerja, dan memiliki karakter dan etika untuk terjun ke
dunia kerja. Oleh karenanya, cakupan life skills amat luas seperti
communication skills, decision-making skills, resource and
time-management skills, and planning skills. Pengembangan program life
skills pada umumnya bersumber pada kajian bidang-bidang berikut: (1) The
World of Work, (2) Practical Living Skills, (3) Personal Growth and
Management, dan (4) Social Skills.
Employability skills mengacu
kepada satu set (serangkaian) keterampilan yang mendukung seseorang
untuk menunaikan pekerjaannya supaya berhasil. Employability skills
terdiri dari 3 (tiga) gugus keterampilan, yaitu: (1) Keterampilan Dasar,
(2) Keterampilan berfikir tingkat tinggi, dan (3) Karakter dan
Keterampilan Afektif. Keterampilan dasar terdiri dari (a) kecakapan
berkomunikasi lisan (berbicara dan mendengar/menyimak), (b) membaca
(khususnya mengerti dan dapat mengikuti alur berfikir), (c) penguasaan
dasar-dasar berhitung, dan (d) terampil menulis. Keterampilan berfikir
tingkat tinggi mencakup (a) pemecahan masalah, (b) strategi dan
keterampilan belajar, (c) berfikir inovatif dan kreatif, serta (d)
membuat keputusan. Karakter dan keterampinan afektif mencakup (a)
tanggung jawab; (b) sikap positif terhadap pekerjaan; (c) jujur,
hati-hati, teliti dan efisien; (d) hubungan antarpribadi, kerjasama dan
bekerja dalam tim, (e) Percaya diri dan memiliki sikap positif terhadap
diri sendiri, (f) penyesuaian diri dan fleksibel, (f) penuh antusias dan
motivasi, (g) disiplin dan penguasaan diri, (h) berdandan dan
berpenampilan menarik, (i) Jujur dan memiliki integritas, serta (j)
mampu bekerja mandiri tanpa pengawasan.
Apabila dihubungkan dengan
pekerjaan tertentu, employability skills ditunjukkan pada penguasaan
vocational skills, yang intinya terletak pada penguasaan specific
occupational job, yaitu keterampilan khusus untuk melakukan pekerjaan
tertentu.
Dari model di atas dapat dipahami bahwa pengembangan life
skills dalam konteks pendidikan di sekolah sepatutnya difokuskan pada
penguasaan specific occupational skills (keterampilan pekerjaan
tertentu/spesifik). Jadi, program tersebut merupakan elaborasi yang
dengan sendirinya dijiwai oleh pemaknaan life skills, employability
skills, dan vocational skills. Apabila dipahami dengan baik, maka dapat
dikatakan bahwa life skills dalam konteks kepemilikan specific
occupational skills sesungguhnya diperlukan oleh setiap orang. Ini
berarti bahwa pengembangan program life skills dalam pemaknaan tersebut
di atas sepatutnya menyatu dengan program pendidikan di sekolah. Dengan
demikian, dalam konsep pendidikan di sekolah, semua anak yang dinyatakan
telah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu sepatutnya telah
memiliki life skills. Dalam pendidikan sekolah di Indonesia, masalah
tersebut sangat relevan jika dikaitkan dengan kelompok lulusan SLTP dan
SMU yang tidak melanjutkan sekolah. Pengembangan program life skills
pada jenjang tersebut diharapkan dapat menolong mereka untuk memiliki
harga diri dan kepercayaan diri dalam mencari nafkah dalam konteks
peluang yang ada di lingkungan masyarakatnya.
2.2. School-Based Management, Community-Based Education, dan Broad-Based Education dalam konteks Pengembangan Life Skills.
Pada
dewasa ini ada 3 (tiga) konsep yang sedang menjadi wacana dalam
pengembangan pendidikan di Indonesia, yaitu School-Based Management,
Community-Based Education, dan Broad-Based Education. School-Based
Management merupakan gagasan yang menempatkan kewenangan pengelolaan
sekolah sebagai satu entitas sistem. Dalam format ini, kepala sekolah
dan guru-guru sebagai kelompok profesional, dengan pihak-pihak yang
berkepentingan lainnya (stakeholder sekolah), dianggap memiliki
kapasitas untuk memahami kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang
dihadapi sekolah dalam upaya mengembangkan program-program sekolah yang
diinginkan sesuai dengan visi dan misi sekolah. Community-Based
Education adalah satu gagasan yang menempatkan orientasi penyelenggaraan
pendidikan pada lingkungan kontekstual (ciri, kondisi dan kebutuhan
masyarakat) dimana kelembagaan pendidikan itu berada. Orientasi
pengembangan program sekolah hendaknya merefleksikan ciri, sifat, dan
kebutuhan masyarakat. Broad-Based Education adalah pendidikan berbasis
masyarakat luas, yaitu kebijakan penyelenggaraan pendidikan yang
diperuntukan bagi kepentingan lapisan masyarakat terbesar. Sifat dasar
yang menonjol dari lapisan masyarakat terbesar adalah pendidikan yang
menekankan kecakapan atau keterampilan hidup atau bekerja. Atau, secara
teknis filosofis orientasi pendidikan mereka kepada life skills. Di New
Zealand gagasan seperti ini direfleksikan menjadi motto sebuah college,
yaitu young men taking their place in the world, yang menekankan pada
pentingnya kemampuan Future Problem Solving, kejelasan Vocational
Pathways, dan penyelenggaraan belajar dengan pendekatan Integrated
Curriculum (http//www.nelcollege.schoolnz). Gagasan ini sangat
beralasan, sebab sesungguhnya secara umum perkembangan peradaban ekonomi
masyarakat dewasa ini telah menuntut kesanggupan sekolah memiliki
pertautan yang jelas dengan tuntutan masyarakat luas dan dunia kerja.
Paradigma school to work harus melandasi segenap kegiatan pendidikan.
Apabila
dicermati, ketiga gagasan yang dijelaskan di atas memiliki titik temu,
yaitu bagaimana menyelenggarakan pendidikan di sekolah yang dapat
memenuhi kebutuhan sebagian besar masyarakat pengguna, dengan
memperhatikan ciri, sifat, dan kebutuhan masyarakatnya, sementara
pengelolaan sekolah mampu mengakomodasi kepentingan tersebut dengan cara
melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan dengan sekolah, yang
direfleksikan dalam visi, misi, dan program-program strategisnya. Dalam
kondisi seperti itu, di samping tetap melayani program-program
akademiknya, sekolah harus mampu pula menyediakan paket-paket atau
program-program pembelajaran yang dapat memberikan jaminan kepemilikan
life skills yang diorientasikan pada penguasaan specific occuvational
skills. Program ini diharapkan memberi manfaat plus bagi anak didik yang
karena sebab tertentu tidak dapat mengikuti jenjang pendidikan yang
lebih lanjut.
2.3. Pengembangan SLTA Berwawasan Khusus dalam Konteks Penerapan Life Skills
Pada
saat ini penulis bersama satu tim konsultan mendapat kepercayaan dari
Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Dirjen Dikdasmen untuk
mengembangkan Pola Induk Pengembangan Model Penyelenggaraan Sekolah
Menengah Umum Berwawasan Khusus. Penyelenggaraan SLTA yang berwawasan
khusus (plus penguasaan keterampilan tertentu – specific occupational
skills) dimaksudkan untuk memberikan keterampilan hidup tertentu pada
siswa yang disesuaikan dengan potensi daerah, bakat, dan pilihan hidup
yang terkait dengan bidang studi tertentu di SLTA. Program bersifat
intra dan ekstra kurikuler sehingga siswa diberi keleluasaan untuk
memilih sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Apabila
diposisikan dalam makna life skills, maka program ini merupakan aspek
dari pengembangan life skills.
Secara kelembagaan, posisi penting
SLTA adalah mempersiapkan anak didik untuk melanjutkan ke jenjang
pendidikan tinggi. Dalam kenyataannya, seperti telah disebutkan di
bagian depan, hanya sebagian saja lulusan SLTA (46,9 persen) yang
melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi (Mendiknas, 2001). Ini
berarti bahwa sebagian besar lulusan SLTA tidak dapat melanjutkan
pendidikan mereka ke perguruan tinggi. Dapat diduga bahwa lulusan SLTA
yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi tersebut masuk ke dunia
kerja tanpa bekal yang cukup untuk bekerja. Ketidaklanjutan tersebut
diyakini disebabkan oleh banyak faktor. Namun demikian, faktor sosial
ekonomi keluarga tampaknya menjadi sebab utama. Hasil penelitian Majelis
Pendidikan Tinggi, Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2001) menunjukkan bahwa
pengembangan pendidikan kewirausahaan lebih diminati oleh siswa yang
latar belakang pekerjaan orang tuanya masuk dalam kategori kelas
menengah ke bawah. Jika kelompok lulusan SLTA yang tidak melanjutkan ke
pendidikan tinggi tersebut berasal dari kelompok keluarga demikian, maka
masalahnya adalah bagaimana mencari pemecahan yang tepat tanpa mengubah
misi kelembagaan SLTA sendiri.
Pengembangan SLTA berwawasan khusus
(yang berorientasi pada pengembangan life skills) tidak mengubah sistem
pendidikan SLTA, dan juga tidak untuk mereduksi pendidikan hanya sebagai
latihan kerja. Program ini tetap menempatkan SMU sebagai lembaga
pendidikan yang mengembangkan program-program akademik sesuai dengan
misi SLTA mempersiapkan anak-anak untuk melanjutkan ke jenjang perguruan
tinggi. SMU berwawasan khusus yang akan dikembangkan justru memberikan
kesempatan kepada setiap anak untuk meningkatkan potensinya, dan bahkan
memberikan peluang pada anak untuk memperoleh bekal
keterampilan/keahlian yang dapat dijadikan sebagai sumber
penghidupannya, terutama bagi mereka yang karena sesuatu hal tidak dapat
melanjutkan pendidikannya. Pengembangan SLTA yang berorientasi
keterampilan hidup tidak dimaksudkan untuk mendikte sekolah, tetapi
hanya menawarkan berbagai kemungkinan atau menu yang dapat dipilih
sesuai dengan situasi dan kondisi riil sekolah, baik ditinjau dari
keberadaan murid-muridnya maupun kehidupan masyarakat sekitar.
Pengembangan SMU berwawasan khusus pun tidak dimaksudkan untuk menyaingi
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang memiliki misi khusus menyiapkan
lulusannya untuk menguasai kemampuan kejuruan untuk terjun ke dunia
kerja. Dalam pelaksanaan program ini, SMK dapat menjadi mitra dalam
melayani penyediaan paket programnya melalui program kemitraan
(partership). Bahkan dalam pengembangan program ini, dunia kerja dan
industri dapat bekerja sama melalui program "outsourcing".
Pengembangan
SLTA berwawasan khusus ini dikembangkan melalui (1) pemberdayaan dan
pemanfaatan potensi lokal seoptimal mungkin, (2) pemberian
peluang/fleksibilitas terhadap sekolah dalam pemilihan dan pelaksanaan
pembelajaran keterampilan tertentu, serta (3) pemberdayaan unit-unit
terkait dalam penyiapan dan pengembangan kurikulum muatan lokal yang
berpijak pada perkembangan jaman dan teknologi modern. Orientasi
pembelajaran menggunakan prinsip learning to know, learning to do,
learning to be, dan learning to life together secara harmonis.
Pengembangan SMU yang berwawasan khusus dikembangkan melalui tahapan sebagai berikut:
1.
Tahun 2001. Studi kelayakan tentang penyusunan dan pengembangan
pola induk model penyelenggaraan SMU berwawasan khusus sejumlah 8
(delapan) model yaitu: Ilmu-ilmu Dasar, Keterampilan, Seni, Bahasa
Asing, Lingkungan Hidup, Teknologi Informatika, Kepribadian dan Budi
Pekerti, dan Olah Raga Prestasi.
2. Tahun 2002. Penyebarluasan/sosialisasi dan perintisan pada beberapa sekolah.
3. Tahun 2003. Implementasi/pelaksanaan program.
Kegiatan
yang ditangani oleh Tim Kerja (penulis bersama Tim Konsultan) adalah
pengembangan tahap pertama (butir no.1). Kegiatan ini terdiri dari dua
kegiatan, yaitu (1) Penyusunan Naskah Pola Induk Pengembangan Model SMU
Berwawasan Khusus, dan (2) Sosialisasi Model SMU Berwawasan Khusus.
2.3.1.Tahapan Penyusunan Naskah Pola Induk
Penyusunan Naskah Pola Induk dilakukan melalui tahapan kegiatan sebagai berikut:
Pertama,
penetapan jenis penyelenggaraan model SLTA berwawasan khusus yang akan
dikembangkan pola induk penyelenggaraannya. Berdasarkan analisis
kebutuhan sementara, dikembangkan 8 (delapan) model SLTA berwawasan
khusus yang terdiri dari:
1. Model SLTA Berwawasan Ilmu-Ilmu Dasar.
2. Model SLTA Berwawasan Keterampilan.
3. Model SLTA Berwawasan Seni.
4. Model SLTA Berwawasan Bahasa Asing.
5. Model SLTA Berwawasan Lingkungan Hidup.
6. Model SLTA Berwawasan Teknologi Informatika.
7. Model SLTA Berwawasan Kepribadian.
8. Model SLTA Berwawasan Oleh Raga Prestasi.
Kedua,
melakukan berbagai studi kepustakaan (literatur) dan dokumen tentang
pengembangan SLTA yang memiliki keunggulan khusus. Sumber-sumber yang
dikaji berkaitan dengan tema comprehensive high school, vocational high
school, life skills, vocational skills, dan employability skills.
Ketiga,
penetapan substansi pokok dokumen pola induk pengembangan model SLTA
berwawasan khusus untuk setiap dokumen model SLTA yang dikembangkan.
Keempat,
melakukan studi lapangan ke SLTA yang telah memiliki kelebihan khusus
atau keunggulan khusus dalam bidang-bidang yang akan dijadikan model
pengembangan SLTA. Studi lapangan ini dilakukan ke SMU yang dijadikan
referensi praktek sebagai berikut :
1. SMU Muhammadiyah Plus, Medan (Bidang Bahasa Asing);
2. SMUN 11 Yogyakarta (Bidang Seni );
3. MAN Jember, Jawa Timur (Bidang Ketrampilan);
4. SMUN 23 Bandung (Bidang Lingkungan Hidup);
5. SMU Regina Pacis, Bogor (Bidang Ilmu-Ilmu Dasar);
6. SMUN Sewon, Bantul (Bidang Teknologi Informatika);
7. SMU Muttahari, Bandung (Bidang Kepribadiandan Budi Pekerti);
8. SMUN 3 Jakarta (Bidang Olahraga Prestasi).
9. SMKN 26 Jakarta ( Bidang Teknologi Mesin Perkakas )
10. SMKN 58 Jakarta ( Bidang Pariwisata )
Yang
menjadi dasar pemilihan sekolah-sekolah tersebut sebagai referensi
empirik adalah hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa orientasi wawasan
khusus tersebut telah dilaksanakan secara sungguh-sungguh sebagai
bagian dari program sekolah atas prakarsa sekolah masing-masing. Oleh
karena itu, perlu dikemukakan di sini bahwa pengembangan Model SLTA
Berwawasan Khusus ini bukanlah praktek yang sama sekali baru. "Mutiara"
ide tersebut sesungguhnya telah dilaksanakan di beberapa sekolah
(diantaranya yang dijadikan referensi dalam studi ini). Studi ini
mencoba mengembangkan model dengan cara mempelajari secara sistemik apa
yang telah dilakukan , mengkaji berbagai pengalaman lainnya dari
berbagai sumber, disertai pula kajian akademik dari sumber pustaka.
Kelima,
menyusun draft (buram) awal pola induk model penyelenggaraan SLTA yang
berwawasan khusus sesuai dengan substansi yang dikembangkan seperti
dijelaskan di atas berdasarkan hasil studi kepustakaan dan studi
lapangan ke SLTA referensi yang dipilih untuk masing-masing model.
Keenam,
melakukan seminar dan lokakarya pembahasan buram yang dihasilkan tim
pengembang dengan melibatkan para pakar yang relevan, praktisi lapangan
(Kepala Sekolah, Guru, dan Pengawas ), maupun pejabat dari unit-unit
utama kantor pusat Departemen Pendidikan Nasional. Kegiatan serupa
dilakukan untuk menyempurnakan buram naskah pola induk model
penyelenggaraan SLTA berwawasan khusus sesuai dengan saran/usul/pendapat
yang berkembang dalam seminar, diskusi, dan lokakarya yang
diselenggarakan. Naskah akhir dinyatakan diterima setelah memenuhi
spesifikasi seperti ditetapkan dalam naskah kesepakatan, dalam
hubungannya dengan kebijakan Depdiknas, kapasitas profesional dan
kapasitas akademik.
2.3.2. Sosialisasi Model SLTA Berwawasan Khusus
Kegiatan
ini dimaksudkan untuk memperkenalkan Model Penyelenggaraan SLTA
Berwawasan Khusus kepada para Kepala Dinas Pendidikan Daerah (Propinsi
dan Kabupaten/Kota) dan Kepala Sekolah yang sekolahnya memenuhi kriteria
untuk melaksanakan model yang akan dikembangkan. Kegiatan sosialisasi
ini meliputi:
1. Melakukan lokakarya untuk menetapkan kriteria
SLTA yang akan dijadikan pilot proyek ujicoba model penyelenggaraan SMU/
SMK berwawasan khusus untuk tahun ajaran 2001/2002 bersama pihak
Direktorat SMU/ SMK , Dirjen Dikdasmen, Jakarta.
2. Melakukan
konsultasi dengan pihak Pemda/Dinas Pendidikan Propinsi dan
Kabupaten/Kota tertentu untuk pelaksanaan ujicoba model SMU/ SMK
berwawasan khusus di beberapa SMU / SMK yang memenuhi kriteria yang
ditetapkan;
3. Bersama pihak Direktorat PMU dan Dinas Pendidikan
Propinsi/Kabupaten/ Kota terkait memilih dan menetapkan SMU/K yang akan
dijadikan proyek ujicoba model berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan;
4. Melaksanakan "in-house training" sebagai
pembekalan dan sosialisasi model SMU/K berwawasan khusus bagi para KS
dan Guru SMU/K yang akan dijadikan proyek ujicoba (piloting) model
penyelenggaraan SMU/K berwawasan khusus di sekolah yang telah terpilih.
Sesuai dengan perencanaan yang telah disusun, Piloting Model SMU/K
Berwawasan Khusus dilaksanakan tahun 2002.
Saat ini sudah
waktunya pendidikan nasional direncanakan untuk membekali peserta didik
dengan kecakapan hidup dan kehidupan life skill yang secara integratif
memadukan potensi generik dan spesifik guna memecahkan dan mengatasi
problematika kehidupan.
Pemerintah dalam hal ini Depdiknas, sudah
mulai tanggap. Yaitu dengan menyediakan dana ratusan miliar rupiah untuk
merealisasikan Program BBE. Setiap Kantor Dinas Pendidikan Nasional di
Pemda/Pemkot di seluruh Indonesia diberi keleluasaan mengajukan proposal
menyelenggarakan program tersebut.
Program BBE itu bisa dimasukkan
ke dalam intra maupun ektra di tiap sekolah. Tujuannya, agar anak didik
mendapat pendidikan keahlian khusus sesuai dengan bakatnya. Sehingga,
alumnus sekolah tersebut bisa mandiri yang akhirnya bisa menciptakan
lapangan kerja tanpa harus bergantung pada orang lain.
Selain
pendidikan formal, program ini juga bisa dilaksanakan kelompok-kelompok
Usaha Kecil Menengah (UKM) dan kalangan LSM. Program tersebut akan mulai
direalisasikan Maret mendatang.
Untuk mengantisipasi tantangan
global, Departemen Pendidikan Nasional telah menyusun konsep bertajuk
Pendidikan Berbasis Kecakapan Hidup (Life-Skill Based Education). Di
satu sisi, konsep ini diperlukan untuk menyongsong kecenderungan global
dan membekali siswa dengan berbagai keterampilan sesuai program
pengembangan di daerah-daerah kabupaten, maupun untuk memperluas
kompetensi siswa yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari; tetapi di
sisi lain konsep ini merupakan wacana yang masih dapat diperdebatkan,
karena sebagian pakar masih mempertahankan asumsi bahwa keterampilan
belajar itu lebih penting dari pada belajar keterampilan. Belajar
keterampilan merupakan bagian dari keterampilan belajar. Dalam
keterampil belajar terakomodasi berbagai kemampuan, termasuk belajar
keterampilan yang searah dengan pemberian multi-life skilled.
Pembelajaran berbasis keterampilan hidup (life-skilled based education)
merupakan salah satu wacana yang dapat diangkat menjadi kebijakan
pemerintah untuk menghasilkan tenaga terampil dalam waktu yang singkat.
Akan tetapi, dalam implementasinya harus dalam kerangka pendidikan
semesta yang menghasilkan keterampilan belajar (learning to learn) terus
menerus
3. Empat Pilar Pembelajaran
Menekankan perlunya Masyarakat Belajar yang berbasis pada empat kemampuan yakni:
(1) belajar untuk mengetahui,
(2) belajar untuk dapat melakukan,
(3) belajar untuk dapat mandiri, dan
(4) belajar untuk dapat bekerjasama.
Bahwa
tidak semua siswa yang tahu dapat melakukan dalam arti memiliki
keterampilan; tetapi yang dapat melakukan pasti memiliki pengetahuan
sebagai dasar teoretik. Tidak semua yang dapat melakukan, dapat
memiliki kemandirian, karena untuk menjadi mandiri memerlukan
syarat-syarat lain; tetapi yang memiliki kemandirian pasti memiliki
keterampilan khusus sebagai basisnnya
Periksa Gambar 1 di bawah.
Keterangan: T = tahu; D = dapat; M = mandiri; KS = kerjasama
Hubungan
4 Pilar Pembelajaran dalamProses Pembentuan Keterampilan Universal
kemampuan untuk memecahkan masalah (problem solving).
Untuk
mencapai tujuan akhir tersebut, harus dilampuai dua tujuan antara,
yakni: (1) mampu mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat
terbaiknya, dan (2) dapat berusaha sekuat tenaga untuk
mengaktualisasikan segenap potensinya, mengekspresikan dan menyatakan
dirinya sepenuhnya-seutuhnya dengan cara menjadi diri sendiri. (Harefa,
2000: 136).
Gambar 2.Hubungan Keterampilan Belajar dan Hasil Belajar Otentik
Oleh
karena itu, frame untuk membangun bangsa seharusnya lebih membuka
peluang bagi tumbuhnya kebutuhan berprestasi yang termanifestasi pada
keterampilan belajar. Dari keterampilan belajar ini akan tumbuh hasil
belajar otentik (actual outcomes) yang berupa perilaku mulia maupun
karya yang bermanfaat bagi sesamanya.
Semakin tinggi dan semakin
luas keterampilan belajar yang dimiliki individu, semakin tinggi dan
semakin luas pula keterampilan-keterampilan lain yang mengiringinya yang
merupakan hasil belajar otentik. Periksa Gambar 2 di atas.
.
Sedangkan dalam belajar keterampilan lebih condong dan dominan pada
aspek psikomotor. Bagaimana posisi belajar keterampilan dan keterampilan
belajar dalam konteks pendidikan, dapat diperiksa pada Gambar 3.
Pendidikan
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia yang secara
teknis-operasional dilakukan melalui pembelajaran. Program pembelajaran
yang baik akan menghasilkan efek berantai pada kemampuan siswa untuk
belajar secara terus menerus melalui sumber belajar yang tak terbatas.
Dari belajar siswa dapat menciptakan kembali dirinya, dapat melakukan
sesuatu yang baru, dapat merasakan hubungan yang lebih akrab dengan alam
dan sesamanya, dan dapat memperluas kapasitas pribadi dalam rangka
kehidupan yang lebih luas. Dari keterampilan belajar akan ditemukan
satu bentuk keterampilan khusus, yang sesuai dengan bakat dan minatnya
dan mungkin digunakan sebagai basis untuk memperoleh penghasilan.
Gambar 3. Posisi Terampil Belajar & Belajar TerampilDalam Pendidikan
Keterampilan
khusus yang dimaksud ialah life-skilled. Artinya, life-skilled tumbuh
dari keterampilan belajar. Sebagaimana penegasan Gredler (1989: 2)
tentang kedudukan pembelajaran dalam proses kehidupan manusia:
“Individual who have become skilled at self directed learning are able
to acquire a variety of new leisure-time and job-skills. They also have
developed the capacity to endow their lives with life-long creativity.”
Jadi, kedudukan belajar terampil merupakan bagian dari terampil
belajar.
Individu yang memiliki keterampilan belajar, dalam arti
dapat mengarahkan diri, berarti akan dapat memperoleh berbagai
keterampilan lain, termasuk keterampilan untuk bekerja yang merupakan
bagian dari kreativitas kehidupan jangka panjang. Individu yang
memiliki keterampilan belajar lebih optimis karena memiliki banyak
pilihan, sedangkan individu yang hanya memiliki keterampilan terbatas
sebagai akibat terlalu menfokus pada satu keterampilan yang spesifik
potensial menjadi orang yang pesimistik, karena tidak memiliki banyak
pilihan dan kemampuan transfer ilmu.
Kesembilan indikator yang menjadi acuan program pendidikan LS 1999 tersedbut terdiri dari:
1.
Decision making (kemampuan membuat keputusan) – membuat pilihan
diantara berbagai alternatif, kemampuan membuat daftar pilihan sebelum
membuat keputusan, mampu memikirkan akibat dari putusan yang akan
diambil, dan mampu mengevaluasi pilihan yang telah dibuat.
2.
Wise use of resources (kemampuan memanfaatkan sumber daya) – menggunakan
referensi, bermanfaat, punya nilai responsibilitas, berdasarkan
prioritas,
a. Mendayagunakan sumber daya yang ada di sekitar dirinya.
b. Memanfaatkan sumber daya finansial sendiri secara terencana.
c. Memanfaatkan pengaturan waktu dengan baik.
d. Berhati-hati dengan personalitas diri.
3.
Communication (komunikasi) – kemampuan menyampaikan pendapat,
informasi, atau pesan dengan berbagai orang melalui pembicaran,
penulisan, gerak tubuh, dan ekspresi yang efektif.
a. Membuat presentasi
b. Mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan orang
c. Jelas dalam menyampaikan pendapat, perasaan, atau ide kepada yang lain
d.
Tidak emosional dalam menjelaskan ketidaksepakatan 4.
Accepting differences (menerima perbedaan) – kemampuan mengatur dan
menerima kesenjangan atau perbedaan dengan pelbagai pihak
e. Menghargai orang yang berbeda
f. Bekerja sama dengan orang yang berbeda
g. Menjalin hubungan dengan orang yang berbeda
5. Leadership (kepemimpinan) – mampu mempengaruhi dan menjelaskan sesuatu kepada pelbagai pihak di dalam kelompok.
a. Mengatur kelompok kepada tujuan yang telah ditetapkan
b. Menggunakan gaya kepemimpinan yang variatif
c. Saling berbagi dengan yang lain dalam kepemimpinan
6. Useful/marketable skills (kemampuan yang marketable) –
kemampuan menjadi pekerja dan dibutuhkan oleh lapangan kerja
a. Memahami permasalahan
b. Mengikuti instruksi
c. Memberi kontribusi pada kerja tim
d. Siap bertanggung jawab pada tiap tugas yang diberikan
e. Menghindari kesalahan dan mencatat prestasi
f. Siap melamar pekerjaan
8.
Healthy lifestyle choices (kemampuan memilih gaya hidup sehat);
kemampuan memilih gaya hidup sehat bagi tubuh dan pikiran, menghindari
penyakit dan luka-luka
a. Memilih makanan sehat
b. Memilih aktifitas yang sehat bagi tubuh dan mental
c. Mengatur stress secara positif di dalam kehidupan pribadi
d. Menghindari perilaku beresiko
9.
Self-responsibility (bertanggung jawab pada diri sendiri);mampu
menjaga diri; menghargai perilaku diri dan dampaknya; mampu memilih
posisi diantara salah dan benar
a. Mengerjakan sesuatu yang benar bagi diri sendiri ketika di dalam kelompok
b. Selalu mengingatkan diri akan kesalahan yang bisa dibuat
c. Mencoba memahami betul sebelum membuat komitmen
d. Mengontrol tindakan diri berdasarkan tujuan/masa depan
4. Kesimpulan
Belajar
keterampilan merupakan bagian dari keterampilan belajar. Dalam
keterampil belajar terakomodasi berbagai kemampuan, termasuk belajar
keterampilan yang searah dengan pemberian multi-life skilled.
Pembelajaran berbasis keterampilan hidup (life-skilled based education)
merupakan salah satu wacana yang dapat diangkat menjadi kebijakan
pemerintah untuk menghasilkan tenaga terampil dalam waktu yang singkat.
Akan tetapi, dalam implementasinya harus dalam kerangka pendidikan
semesta yang menghasilkan keterampilan belajar (learning to learn) terus
menerus. Keterampilan belajar lebih inklusif karena mencakup berbagai
aspek perkembangan kepribadian manusia, yang terdiri dari aspek
intelektual, moral, dan keterampilan. Belajar keterampilan sebagai
salah satu aspek keterampilan belajar akan tumbuh searah dengan
perkembangan keterampilan belajar. Sebagai salah satu upaya untuk
menyiapkan dan menyediakan sumber daya manusia terampil, konsep tersebut
perlu disambut dengan baik dan bijak tanpa harus mengalahkan perlunya
pendidikan universal yang menghasilkan berbagai aspek keterampilan yang
lebih esensial berjangka panjang dan kompleks.
5. Penutup
Sebagai
institusi pendidikan, sekolah sepatutnya memiliki kapasitas sebagai "a
place for better learning". Sebutan tersebut sangat beralasan karena
sekolah dirancang untuk menyelenggarakan pendidikan dengan spesifikasi
persyaratan yang mengikat. Dalam kondisi seperti itu, maka penguatan
akuntabilitas sekolah sepatutnya dikaitkan dengan kepentingan bagaimana
penyelenggaraan program-program pendidikan yang ditawarkannya dapat
memenuhi kebutuhan sebagian besar masyarakat pengguna. Dalam kondisi
seperti itu, di samping sekolah tetap melayani program-program
akademiknya, sekolah harus mampu menyediakan paket-paket atau
program-program pembelajaran yang dapat memberikan jaminan kepemilikkan
"life skills" yang diorientasikan pada penguasaan "specific occuvational
skills". Kemampuan tersebut diperlukan oleh setiap anak sekolah. Namun
demikian, SMU/K tampaknya memiliki posisi prioritas. Pengembangan Model
SMU/K Berwawasan Khusus, yang pada esensinya dijiwai oleh pengembangan
"life skills" diharapkan dapat menolong sebagian besar lulusan SMU/K
yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi untuk memiliki keterampilan
hidup tertentu sesuai dengan potensi daerah, bakat, minat dan pilihan
hidupnya. Pengembangan program seperti ini memerlukan kerjasama dengan
orang tua siswa, masyarakat sekitar, dunia kerja dan pihak yang
berkepentingan lainnya. Pengalaman empirik menunjukkan bahwa
keberhasilan penyelenggaraan program seperti itu, di samping didukung
oleh fasilitas, guru-guru yang berdedikasi, dan dukungan kepemimpinan
pendidikan setempat (Dinas Pendidikan Daerah), peranan kepala sekolah
sangat menentukan atas keberhasilan penyelenggaraan program. ( koko)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar